Rabu, 21 September 2011

Distorsi Tak Apa

Masih ada waktu setengah jam sebelum kelas terapi remedial dimulai.
Bodas nongkong di warung nasi depan klinik terapi bersama Ambu. Mereka memesan nasi satu piring berdua.
Konten selain nasi adalah ikan tongkol pedas, tumis buncis dan labu siam serta gulai tahu. 




Bodas dan Ambu menghabiskan makan dengan cepat,
karena masakan pedas membuat mereka bersemangat.

Selesai makan, Bodas memulai aksinya mengeilingi seantero warung nasi yang sempit,
untuk menilik ada apa saja yang ada di dalam warung ini. 
Kali ini dengan kamera digital.



Sepintas lalu Bodas mendengarkan percakapan ambu dan ibu warung.



Wahhh, Mbak, si adik sudah makin pintar ngomong ya. 

Alhamdulillah, Bu

Berarti terapi di sini bagus ya?

Semua pasti bagus, Bu, asal jangan berpindah-pindah.

Emang kalau pindah-pindah kenapa?

Ya nanti terapis baru harus mengenali masalah si anak dari awal lagi. Jadi kemajuannya terhambat. 


Oooo...gituu?
Mbak-nya ini ga masalah, ya, punya anak autis?

Enggak, Bu



Saya juga sering ngobrol sama ibu lainnya yang anaknya terapi di sini, tapi ga pernah bilang anaknya ngapain. Bilangnya cuma anaknya lagi belajar gitu, atau les. Padahal saya tau dari situ kalau yang di terapi di sini itu ya anak yang beda. 

Kasihan anaknya kan, Bu, kalau orang tuanya malu. 
Mungkin mereka bukan malu. Cuma mereka ga mencari tahu lebih jauh tentang apa yang terjadi, dan mereka kira autis itu adalah penyakit.
Mereka pikir bisa disembuhkan. Terapi di satu tempat, ga sembuh, pindah lagi ke tempat lain. Jadi anakya tidak tertangani sepenuhnya. 
Karena banyak sekolahan yang juga ga ngerti, ga mau menerima murid yang berbeda, jadi mereka kesusahan masuk sekolah. Umurnya terus bertambah. Kasian, kan, dia jadi ga sekolah-sekolah. 

Lha, si anaknya sendiri boleh ga dikasih tau kalau dia...apa itu namanaya....autis..maap, lho, Mbak.

Ga papa, Bu. 
Lebih baik jangan bohongin anak. Nanti dia akan belajar jadi pembohong juga, dong. Kalau kita nutup-nutupin kekurangan karena kasihan, suatu saat nanti kan dia akan tau juga.

Iya, ya, Mbak. Waktu kecil aja saya tau kalau dibohongin.

Nah....



Di kejauhan terdengar suara letusan. Bodas langsung gelisah, "Suara apa itu?" tanyanya cepat.
Bapak warung yang sedang makan langsung menjawab, "Itu suara bom!"



Bodas mendekati Ambu, "Suara apa itu, Ambu?"
"Itu suara knalpot motor meletus, Nak."
"Itu bukan petasan, Ambu?"
"Bukan, Nak." 



Bodas kembali tenang dan melanjutkan jelajahan.

Si Bapak warung masih ingin menggoda anak kecil, "Itu suara petasan!" Bodas kembali mendekati Ambu.



Ibu warung memukul tangan suaminya, "Hehhhh...Pak'e, kata Mbak-nya ini ga boleh bohong," lalu dia beralih ke Bodas, " Bukan, Dik, itu bukan petasan. itu knalpot motor. Wis, ga popo..."

Bodas kurang percaya. Menoleh pada Ambu yang baginya paling bisa dipercaya di ruangan ini, saat ini, "Tidak petasan! Tidak petasan!!" Hampir menangis.



"Tidak! tidak petasan. Itu knalpot motor meletus. Rusak!"Ambu meyakinkan.

Ibu warung juga ikut menenangkan, "Iya, Dik. Jangan dengerin Bapak. Bapak nakal." Si Bapak terkekeh sambil terus makan. Si Ibu melanjutkan, "Ga boleh main petasan ya, Dik. Bahaya. Nanti tangannya bisa buntung kena petasan, " ujar ibu sambil mengadegankan aksi memotong pergelangan dengan kedua tangannya.



Lalu ibu warung menoleh lagi ke suaminya, "Kemarin, Pak, itu di tipi ada berita polisi dikeroyok orang sekampung gara-gara ngelarang main petasan bambu. Lha wong itu udah tradisi mosok dilarang, ya biar mampus dikeroyok!!"



Ambu segera berdiri dan membayar makan siang mereka lalu berpamitan untuk masuk kelas terapi, walau masih ada waktu 15 menit lagi.

bodas tidak tahu kenapa Ambu agak khawatir dengan percakapan terakhir. Tapi tenang saja, Ambu tahu kalau saat besar nanti Bodas akan menemukan banyak distorsi dalam lingkungan sosial Bodas, dan mereka akan bekerjasama menyaringnya.



Bodas berjalan  di sisi Ambu, dengan gembira menjalani putaran rotasi hari-harinya. Bodas tidak mengerti apa yang dibincangkan di warung tadi. Tapi semua itu tersimpan dengan baik di ingatan fotografisnya. Ambu tahu walau ingatan fotografis itu sangat citraan bentuknya, serta mendominasi kepala Bodas. Tapi sejarah tekstual dari sebuah citra selalu berjalan mengiringinya.  



Bodas juga tahu tabir tebal bernama konsep sosial itu  semakin menipis,  menuju hilang. Karena Bodas selalu mengikisnya beramai-ramai degan Ambu, Abah, Bu Zubay, Bu Dita, Bu Citra, Bu Vivit, Bu Wulan, Bu Sari, Bu Mina, Bu Arsi, Ageung.... juga Bodas selalu bekerjasama, berdiskusi memecahkan masalah konsep sosial tersebut bersama Anya, Kenzo, Majid, Kiki, Zahida, Risa....dan semua orang yang disayangi Bodas.

Lenteng Agung, 22 September 2011




foto oleh bodas
teks oleh ambu


6 komentar:

  1. pernah disini, nunggu bodas nemenin Ambunya dan juga luntang lantung ;D

    BalasHapus
  2. *spechless* indah. *kumat mellowgirl-nyah* keren. *kasi jempol*

    BalasHapus
  3. suka foto-fotonya Bodas dan ceritanya Ambu :)
    eh, Bodas udah bisa makan pedas ya? hebat itu. si Bintang nyebelin, gak pernah mau pedas sedikitpun.

    BalasHapus
  4. bagus banget Coti...., musti dibukuin nih, komposisi gambar dan tulisannya kaya baca buku anak-anak..

    BalasHapus