Selasa, 15 Juli 2008

The Wind Will Carry Us: Memaknai Kembali Komunikasi PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Otty Widasari   
Selasa, 15 Juli 2008 00:00  

Sebuah mesin dari peradaban moderen, berisi manusia-manusia moderen dari zamannya melintasi jalan berliku membelah perbukitan mencari lokasi yang sulit dicapai dan tak ada penunjuk arah yang pasti selain tanda-tanda alam. Lokasi yang dicari itu amat jauh. Perubahan warna matahari menggambarkannya, di lahan luas berwarna emas. Simpul komunikasi pun ditunjukkan dalam filem besutan Abbas Kiarostami, The Wind Will Carry Us.





Syahdan, sebuah perjalanan pencarian spiritual dilakukan Behzad dan kru yang akan memfilemkan upacara kematian tradisional di desa suku Kurdi, Shiah Dareh. Perjalanan ini membawa kebudayaan moderen bersamanya dan hinggap di relung kebudayaan tradisional yang diisi oleh perempuan, anak-anak dan para lelaki usia senja. Secara fungsional diceritakan bahwa lelaki Kurdi memiliki karakter sosial perantau dan selalu keluar dari kampungnya untuk bekerja, sekolah ataupun berjuang untuk kemerdekaan bangsa Kurdi. Pencarian spiritual ini mengesankan sebuah aksi pencarian harta karun yang terpendam ribuan tahun karena lokasi yang didatangi adalah merupakan situs yang tersembunyi dari sejarah peradaban Iran dan merupakan kota purba tempat asal-usul bangsa Kurdistan yang bahkan disebut sebagai jejak pertama orang Aria yang dikenal sebagai Iran sekarang ini, dan merupakan perlintasan budaya antara barat dan timur.

Tersebutlah seorang laki-laki moderen bernama Behzad Dourani yang membawa seorang perempuan moderen (Forough Farokhzad yang diwakilkan oleh puisinya), datang ke sebuah tempat untuk menemui seorang perempuan tradisional berusia lebih dari 100 tahun (sebuah penggambaran usia yang agung dalam kehidupan manusia karena dia merupakan saksi pergantian sebuah abad) yang sedang menjelang datangnya ajal. Tersebutlah bahwa upacara kematian di desa Shiah Dareh memiliki tradisi spesifik dan bagi orang kota bisa dijadikan objek eksotis untuk difilemkan. Bagaimanapun, penghuni wilayah tradisional menganggap hal itu suatu kesakralan. Kesakralan itu ada dalam puisi Forough Farokhzad yang datang ke Shiah Dareh bersama Behzad. Dan si moderen memiliki kesimpulan yang pragmatis dalam memaknai puisi tentang bayang-bayang kematian yang dibawanya. Namun jalinan makna dalam puisi tersebut telah membawa si moderen yang terlebih dahulu membawanya, ke sebuah area yang tidak diketahuinya.

Persoalan gender merupakan salah satu isu utama dalam filem ini. Sejak awal Behzad memasuki gerbang desa, dia selalu berpapasan dengan para perempuan yang selalu menyapanya lebih dahulu. Walaupun digambarkan dalam wilayah domestiknya, di mana perempuan merupakan penguasa dan bisa memperjuangkan teritorinya dengan cukup keras, namun melalui adegan di kedai teh Tadjilod sekaligus juga menggambarkan bahwa peran perempuan sejak dahulu dan secara turun temurun telah didomestifikasi oleh sistem patriarki.

Harta karun eksotis yang dicari oleh intelektual dari budaya moderen ini berada di balik jendela berbingkai biru dengan tirai yang selalu tertutup milik Malek, si nenek sekarat yang dikabarkan berusia 100 atau 150 tahun (merujuk dari percakapan Behzad dan Farzad, si anak kecil usia sekolah dasar dan calon intelektual di masa mendatang, yang menjadi penghubung Behzad dengan desa itu dalam usahanya mencapai tujuan), merupakan sebuah puisi moderen tentang bayang-bayang kematian.Cerna saja larik puisi Forough Farokhzad berjudul The Wind Will Carry Us ini: “…Seperti menanti lahirnya sang hujan, sesaat, setelah itu sunyi…”. Peristiwa menjelang ajal yang ada di balik jendela biru itulah yang menjadi penantian panjang dalam filem ini, membuat Behzad jadi berkenalan dan masuk lebih jauh ke dalam lokasi kebudayaan tradisional dan menyebabkan bergesernya persoalan keyakinan si orang kota.



Terjadinya benturan budaya dalam filem ini tergambar melalui proses komunikasi dari wilayah moderen yang mengalami ketersendatan saat dia harus berhadapan dengan proses komunikasi dari wilayah tradisional. Behzad tidak pernah berhasil melakukan komunikasi dengan baik di desa itu. Farzad yang seharusnya membantu Behzad selalu melakukan penolakan. Seperti saat berkali-kali Behzad memintanya membawakan susu, juga mereka memiliki harapan yang berbeda tentang kondisi kesehatan Malek yang tak lain adalah nenek Farzad. Behzad harus juga mengalami pantulan komunikasi dalam melakukan komunikasi tradisional secara langsung. Komunikasi yang dilakukan Behzad dengan ibu pemilik rumah tempat dia dan kru tinggal dilakukan melalui pantulan cermin, dan Behzad tidak mengenali wajah induk semangnya itu saat mereka bertatap muka. Hampir setiap percakapan Behzad dengan orang-orang tersebut selalu terputus dengan dering selularnya. Behzad pun harus berkali-kali naik atas bukit (pemakaman) dengan mobilnya demi mendapatkan sinyal untuk dapat berhubungan dengan atasannya di Teheran. Alat komunikasi moderen itu harus membuat jalannya sendiri dalam melakukan tindak komunikasinya menuju sebuah pucuk kematian di desa Shiah Dareh yang bahkan sedang menjelang kedatangan era globalisasi komunikasi. Dan dalam usahanya membuat alur komunikasi itu si intelektual moderen harus turun ke dasar piramida komunikasi yang dibuat si sutradara dalam filem ini, kembali ke mitos-mitos komunikasi yang hidup dalam tatanan sosial masyarakat tradisional. Alur yang terjadi dalam piramida komunikasi itu berisi hakikat kemanusiaan yang dilambangkan dengan sepotong tulang paha manusia dari masa lampau yang diberikan oleh si penggali saluran telekomunikasi di pemakaman, Yossef, kepada Behzad, dan Behzad meletakkannya di dasbor mobilnya dan membawanya serta dalam mobilitasnya di desa Shiah Dareh.

Secara perlahan tersirat makna penghancuran komunikasi tradisional dalam filem ini, di mana ruang-ruang dalam rumah tinggal Behzad dan kru di desa tersebut telah berubah menjadi ruang-ruang komunikasi moderen yang semu karena tidak pernah memperlihatkan si komunikan dalam tiap percakapan. Ini merupakan isu sejarah moderenitas Iran, di mana filem ini dibuat pada pergantian abad ke-20 menuju abad ke-21 –abad globalisasi teknologi komunikasi yang bisa jadi memang secara perlahan telah menghancurkan konsep komunikasi tradisional, dan juga merujuk pada usia Malek, si objek pencarian behzad yang diperkirakan lahir pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20, yaitu abad moderenisasi. Katakanlah Malek mungkin lahir pada 1849, di mana waktu itu Persia sedang menggalakkan Persianisasi ke seluruh wilayah Timur Tengah, ermasuk Asia Selatan dan Turki. Tersiratlah sebuah makna bahwa sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari pesatnya laju moderenisasi abad demi abad, menyisakan jejak-jejak tradisi yang masih hidup dalam masyarakat tradisional, dan kemudian bakal menjadi objek eksotisme bagi budaya moderen.

Sedangkan dari arah sebaliknya, wilayah komunikasi tradisional menahan dirinya karena ada sejumlah rahasia politik dalam kehidupan sosial masyarakat di daerah ini. Mitos komunikasi digambarkan sebagai bayangan komunikasi atau bersifat semu, yang merupakan juga konsep komunikasi moderen.




Hubungan pertemanan yang unik antara Behzad dan Yossef, si penggali saluran di pemakaman, mengantar kita pada pengenalan mitos komunikasi tersebut. Ini disebabkan si intelektual dari wilayah moderen berkomunikasi dengan Yossef yang berada dan hidup di dalam mitologi itu sendiri. Mereka saling mengomunikasikan muasal sebuah legenda. Komunikasi itu dilakukan di pemakaman, sebuah ‘ziarah ke mitologi kuno’. Dan sedikit demi sedikit terjadi pergeseran keyakinan yang dialami oleh si orang kota moderen ini, sebuah pengalaman spiritual karena ada bayang-bayang kematian dalam komunikasi yang dilakukannya bersama penduduk Shiah Dareh.

Saat behzad berjumpa dengan seorang lelaki seusianya yang ternyata tidak merantau karena dia seorang guru (intelektual) di desa itu, kita tidak hanya melihat bahwa friksi antara budaya moderen dan budaya tradisional terjadi di Iran dalam konteksnya sebagai negara, tapi juga friksi lain itu ada dalam suatu wilayah tradisional di negara itu, yang dirasakan oleh orang yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dan dapat merasakan bahwa tradisi upacara kematian di desanya merupakan kenyataan yang menyakitkan, apalagi ada faktor ekonomi yang menunjang hal menyakitkan tersebut. Cara pandang intelektual lokal ini merupakan dampak moderenitas terhadap budaya tradisional.

Filem ini juga menampilkan adanya infiltrasi keyakinan secara halus oleh budaya moderen yang diwakilkan oleh Behzad kepada budaya tradisional. Sementara lokasi budaya setempat tidak memiliki kemampuan berdialektika, digambarkan melalui kepolosan Farzad yang tidak bisa menjawab pertanyaan ujian tentang apa yang terjadi pada hari kiamat. Behzad memberitahu jawaban pada Farzad setelah sebelumnya bermain-main kata dengan memutarbalikkan fakta tentang surga dan neraka terlebih dulu. Terjadi percakapan tentang kematian di kedua budaya yang berbeda dan kita menemukan kontradiksi kultural yang bisa diartikan sebagai percakapan tentang dua keyakinan dari dua lokasi kebudayaan yang berbeda.

Kemudian kita diperkenalkan pada beberapa karya sastra yang berasal dari zaman Iran kuno dan moderen, namun keduanya diperkenalkan dari dalam tanah, yang kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah kedua karya sastra tersebut juga memiliki sejumlah rahasia politik sehingga tidak dengan mudah bisa dikenali di permukaan yang terbuka?

Sastra pertama berasal dari Forough Farokhzad (penyair moderen Iran yang karya-karyanya diterapkan oleh kaum feminis), sebagaimana filem ini diberi judul, The Wind Will Carry Us. Puisi ini bercerita tentang bayang-bayang kematian dan dibacakan oleh Behzad kepada Zaenab, kekasih Yossef, di kandang sapi gelap gulita dan terletak di bawah tanah. Ini merupakan dampak politik gender di negara dengan hukum Islam. Dan ini diterapkan di ranah budaya yang bertolak belakang dengan ranah kelahiran puisi tersebut. Menunjukkan sebuah kritik terhadap budaya tradisional, bahwa di negara yang pernah melahirkan penyair perempuan moderen masih berlaku ketidaksetaraan gender. Dengan kata lain kita telah melihat Forough Farokhzad ditarik dari kontemplasinya, sebab sastranya yang berdiam di moderenitas Teheran harus diimplementasikan di ranah tradisional. Dalam adegan yang sama juga dibacakan puisi lain dari Farokhzad berjudul ‘Hadiah’, menceritakan tentang perempuan yang hanya berteman dengan kegelapan. Terasa ada semangat optimisme bagi perempuan disandingkan dengan keterpingitannya, di mana ruang gelap bawah tanah itu merupakan kandang sapi perah yang melambangkan kesuburan dan kehidupan. Juga ada bagian di mana si perempuan bertanya pada laki-laki yang membacakannya puisi, tentang pendidikan yang dienyam oleh sang perempuan penyair. Si lelaki moderen memberinya gambaran jalan menuju intelektualitas bagi perempuan melalui biografi Forough Farokhzad. Walau jalan menuju intelektualitas itu ditunjukkan dalam kegelapan sebuah ruang bawah tanah. Namun semangat optimisme itu, sebagaimana dihantarkan oleh si sutradara secara gamblang, telah diberikan oleh seorang lelaki. Seandainya pembuat filem ini seorang sutradara perempuan Iran, akankah dia membiarkan si penyair datang sendiri ke dalam kandang sapi perah yang gelap itu tanpa diantar oleh seorang lelaki moderen?



Sastra lainnya berasal dari zaman Iran kuno, yaitu legenda ‘The Love of Shirin’ terlibat dalam percakapan antara Behzad dan si penggali saluran di pemakaman, Yossef. Sastra ini kita ketahui sebagai kisah sepasang kekasih, Shirin (istri seorang pangeran) dan kekasih gelapnya, Farhad yang dalam percakapan Behzad dan Yossef disebutkan adalah oang yang membangun kota Bistonia. Namun kisah The Love of Shirin yang memiliki beberapa versi ini selalu dibuat oleh laki-laki. Di sini kita dapat melihat pertarungan isu gender yang menggunakan kota Shiah Dareh sebagai ruang tarungnya.

Kita juga dapat mengenali rubaiyat Omar Qayyam, penyair Persia kuno, yang beberapa kali muncul dari percakapan pelaku-pelaku dalam filem ini. Namun berlainan dengan karya Farokhzad yang bicara tentang keterkungkungan dan bayang-bayang kematian, karya Omar Qayyam yang terkenali dalam filem ini justru menggambarkan keindahan hidup hari ini.

Alur filem ini membentuk sebuah piramida komunikasi yang memiliki landasan puisi, dan konsep komunikasi global yang menjadi puncaknya. Kedua konsep yang menjadi dasar dan puncak piramida itu dipertemukan pada ranah komunikasi tradisional melalui lubang puisi tradisional yang kita temukan di puncak komunikasi global berupa pemakaman, dan sebuah lubang puisi moderen berupa lubang kesuburan.

Filem ini ditutup dengan perekaman wajah para pelayat dengan menggunakan kamera diam, menggantikan filem, di mana durasi peristiwa upacara kematian Malek yang diwakilkan hanya oleh wajah para perempuan pelayat tersebut dibekukan dalam satu bingkaian diam. Mengingat kelahiran kamera diam yang lebih awal daripada kamera filem, bisa diartikan bahwa pada akhirnya si intelektual moderen ini kembali turun ke dasar piramida kebudayaan untuk memberi arti pada harta karun yang sudah ditemukannya dalam bentuk yang berbeda karena dipandang dari kaca mata keyakinan yang sudah bergeser dari posisinya semula. Inilah aktivitas pendokumentasian dengan menggunakan medium teknologi moderen, merekam peristiwa tradisional yang melingkupi semua isu beserta konflik dan friksinya di lokasi kebudayaan tradisional melalui pandangan moderen yang menggunakan konsep asalnya.

Kemungkinan lain dari adegan kamera ini, yaitu merujuk pada pendapat Roland Bhartez bahwa gambar diam merupakan esensi dari sebuah filem. Karena fotografi yang sifatnya mengekalkan itulah, maka digambarkan Behzad hanya mengambil gambar wajah para perempuan pelayat yang juga tergambar dalam puisi Forough Farokhzad. Dan akhirnya Behzad mengembalikan tulang dari masa lampau itu ke alam, melemparkannya ke sungai yang mengalir melewati kambing-kambing yang merumput di tepiannya. Membawa kita pada pemahaman untuk lebih memilih hari ini daripada yang lampau.

They tell me she is as beautiful as a Houri  from heaven!
Yet I say
That the juice of the vine is better
Prefer the present to these fine promises
Even a drum sounds melodious from afar…
Prefer the present …

The Wind Will Carry Us: Communication Redefined

The Wind Will Carry Us: Communication Redefined PDF Print E-mail
Written by Otty Widasari   
Tuesday, 15 July 2008 00:00

A machine from modern civilization, consists of modern men crossing the winding cracking hills road to find hard location and no sure direction except for the signs of nature. The location to find is somehow remote. Color gradation on the sun capture it, in the vast land cover with gold color. Thus, the link of communication is show by the film of Abbas Kiarostami, The Wind Will Carry Us. 

windwillcarryus02

And so it is, the long spiritual journey performs by Behzad and crews which about to filming the traditional death ceremony in Kurd village, Shiah dareh. This journey brings modern culture with them and stays in the midst of traditional culture full of women, children and old men. Functionally, the story want to share the idea of social character of the Kurdish men as voyagers and always traveling outside their barrio to works, going to school or fight for independency. This spiritual quest confirm an action of searching for treasure which hidden for thousand years, in one of the heart location of the Iranian civilization history and was an ancient city where originate the Kurdish, the place that even called as the first step of the Aryan which now introduce as Iran, the place of the cross culture between west and east.
Thus came a modern man named Behzad Dourani who brought a modern woman (Forough Farokhzad whom represented by her poem), to meet traditional dying woman aged more than 100 years old (a representation of grand age in the life of human beings for it was the age that witnessed the shifting of a century). There mentioned that the death ceremony in Shiah Dareh village has a specific tradition and exotically views by city men as an object worth of filming. However, the traditional villagers took it as a sacred ritual. Its sacred came along with the poem of Forough Farokhzad who visited Shiah Dareh with Behzad. And the modern man has a pragmatic conclusion in denote the poem on the shadows of death that he brought it with. But the meaning web in the poem has brought the modern man to an unknown area.

Gender matter is one of the main issues in the film. Since the very beginning that Behzad entered the village gate, he always passed women whom at all time greeted him first. Although describe in their domestic domain, where women are rulers and able to fight for their territory hard enough, but through the scene in Tadjilod teashop, there describe the general picture of women’s role that has always been and traditionally domesticated by patriarchic system.

The exotic treasure which searched by intellectuals from the modern culture stay behind the blue-frame window with closed-curtain that belong to Malek, the dying old lady whom inform to be 100 or 150 years old (referring to Behzad conversation with Farzad, little schoolboy and future intellectual, who appear to be Behzad’s connection with the village in his effort to reach his goal), and was a modern poem on the shadows of death. Take a look on this rhyme of Forough Farokhzad’s poem title The Wind Will Carry Us: “…as waiting for the birth of rain, and after that silence….” The event about dying behind the blue window that become the long waits in the film, making Behzad to acquaint and entered the heart of traditional culture location and made the city men belief’s shifted.

windwillcarryus03

The occurrence of cultural clash in the film describe through the process of communication in the traditional domain. Behzad has never managed to build a good communication in that place. Farzad, who have a job to help Behzad always performs his refusal. Like for over and over Behzad ask him to bring milk, and when they have different expectation on the condition of Malek’s health whom no other than Farzad’s grandmother. Behzad also has to experience the mirror-communication when performing face-to-face traditional communication. The communication between Behzad with the lady-owner of the place and the crews he living with perform through the mirror, and Behzad could not recall his lady-owner when they facing each other. Almost every conversations of Behzad and the people afore mentions always disconnected by his cell-phone’s ring. He had to go uphill (the cemetery) by his car every time to find a better signal to communicate with his superior in Tehran. The communication tool has to make its own way in performing the act of communication by reach the focal point of death in Shiah Dareh village that even ready to welcoming the emergence of globalization of communication era. And in the effort of making the communication channel the modern intellectual has to walk the bottom of communication pyramid made by the director of the film, pace backward to the myths of communication which lived in the traditional social order. The channel which materialized in the pyramid of communication contain of humanly essence that symbolize with a piece of human bone from the past which gave by the digger of telecommunication channel in the cemetery ground, Yossef, to Behzad. He put the bone in his car dashboard and took it along with his mobility in Shiah Dareh village.

Slowly there implicit meanings of destruction of the traditional communication in the film, where rooms in place that Behzad and his crews in the village has turn into the rooms for pseudo modern communication for it was never materialized the communicant in each conversation. The film tend to elevate the modernity history of Iran, where the film itself was made in the edge of the turning of twentieth century to 21st century –the century of globalize communication that slowly but sure manage to damage the concept of traditional communication, and also refer to Malek age, the object of Behzad search whom predict to had born in the turning of nineteenth century to twentieth century, the age of modernization. Say that Malek might had born in 1849, where at the time Persia was indulgently spread the Persianization to the whole area of the Middle East, including South Asia and Turkey. There implicit the meanings that society will not able to detach the fast growing modernization from century to century, leaving behind the path of tradition which still alive in traditional community, and therefore will be the object of exoticism for modern culture.

As for the other way around, the domain of traditional communication keep themselves in restraint for it has certain political secrets. The communication myths describe as shadow of communication with ersatz character, which also the concept of modern communication.

windwillcarryus04

The unique friendship between Behzad and Yossef, the channel digger in cemetery ground, sent us to the knowledge of the myth in communication. This happened because of the intellectual from the modern area communicate with Yossef who live in mythology itself. They communicate the origin of a legend. The communication took place in the cemetery ground, a ‘pilgrim to the ancient mythology.’ And little by little there was a shifting of belief in the mind of this modern city man, a spiritual experience for it has the shadows of death in the communication he had done with the villagers of Shiah Dareh.

When Behzad met a man of his age who appeared to be a teacher (intellectual) in the village, we’re not merely witnessing the friction between modern and traditional culture in the context of Iran as a nation, but also the other friction in the traditional domain in the country, which felt by the person who has higher education and sensed that death ceremony tradition in his village is something of a cruel fact, and above all there was an economic factor to support the ritual. This local intellectual point of view is an impact of modernity toward traditional culture.

The film also shows delicate infiltration of beliefs by modern culture which represented by Behzad to the traditional culture. While the location of culture has no ability to dialectic action, which showed through the innocent of Farzad who couldn’t answer the examination query on the matter of the judgment day. Behzad gave the answer after previously playing with words on the facts about heaven and hell. There was a conversation about death between the different cultures and here we found the fact of cultural contradiction which could be interpreted as conversation between two beliefs in two different location of culture.

Then we were introduce to the works of literature originates from the ancient and modern Iran, but the introduction came out from inside the ground. This elevated a question: are these literature works also contain with certain political secret so it can’t easily recognize in the open surface?

The first work comes from Forough Farokhzad (modern Iranian woman-poet, notably use by the feminists), as the film is giving title with, The Wind Will Carry Us. The poem talked about the shadows of death and recite by Behzad to Zaenab, Yossef lover, in the dark underground cow stable. This was, however, emerge politically impact to the nation which base on Islamic law. And we can see how the poem contradicts the land of its birth. It shows us critiques on traditional culture, which often brings gender inequality. In other word we have seen Forough Farokhzad being pull out of her contemplation, for her work which stay firm in the modernity of Tehran must implement in the traditional domain. In the same scene also recites another poem from Farokhzad with title ‘Hadieh/The Gift’, that tell the story about a woman who only make friends with darkness. We can feel the spirit of optimism for the woman side by side with their limited access, where the dark underground is milk cow stable that represent fertility and lives. There a scene where the woman ask the man who recite her poems, about the education of the woman-poet. The modern man gave her the description to intellectuality through the biography of Forough Farokhzad. Although the description on the path to intellectuality is express in the darkness of the underground, the spirit of optimism, as the director clearly stated, articulate by a man. If the filmmaker was an Iranian woman, will the director let the poet come by herself to the dark milk cow stable without company of a man?

windwillcarryus01

The other work is from the ancient Iran: ‘The Love of Shirin’ legend, which entail in the conversation between Behzad and the channel digger in the cemetery ground, Yossef. The legend is about lovers, Shirin (the wife of a prince) and her secret man, Farhad. In the conversation between Behzad and Yossef this man was a man who built city of Biston. But The love of Shirin tale has many versions and all the time made by men. What we see here is the contestation of the gender issue by using Shiah Dareh as the field.

We also can recognize the Rubaiyat of Omar Qayyam, the ancient Persian poet, whom appears in several discussions between the actors of the film. But to the contrary with the work of Farokhzad which talk about imprisonment and the shadows of death, the work of Omar Qayyam which recognize in the film are drawing the pictures of the beauty of life in the present time.

The plot of the film constructs communication pyramid with poetry as its base, and the concept of global communication as the top of it. Both concept become infrastructure and   superstructure of the pyramid and connected with the domain of traditional communication through the hole of traditional poetry which can be found at the top of global communication at the cemetery ground, and the hole of modern poetry in the hole of fertility.

The film took an end with records of mourners using still camera, to replace film, where the duration of event of Malek death ceremony represented by the face of women mourners freeze in one still frame. Remembering the birth of still camera that emerge before film camera, we can interpret this as the ultimate needs of modern intellectual to stepping down the bottom of cultural pyramid to gives the meaning of treasure which he has found in the different form because of the shifting view of his beliefs. This is of course documentation activity using the medium of modern technology, recording traditional event with the whole conflicts and frictions in the traditional location of culture through the eyes of modern culture.

Other possibility about this scene of a still camera is, refer to Roland Barthes, that still image is the essence of a motion picture. Because of the perpetual character of photography, then it describe that Behzad only taking pictures of faces of the mourners, which also describe in the poems of Forough Farokhzad. Finally Behzad return the bone from the past to nature, throwing it to the river which flow crossing goats that eats grass in the bank of the river. It brings us to the comprehension to choose the present rather than the past.

They tell me she is as beautiful as a Houri from heaven!
Yet I say
That the juice of the vine is better
Prefer the present to these fine promises
Even a drum sounds melodious from afar…
Prefer the present …