Kamis, 15 Oktober 2009

Warung Barokah Pak Jawawi: Sate Kambing, Gule, Tongseng dan Kumpulan Kisah Cinta

Oleh Otty Widasari | Pada Minggu, 15 November 2009
* * * 
 
Buah mangga sedang musim saat ini. Di setiap rumah yang kukunjungi aku mendapat suguhan itu. Menyenangkan sekali, walau membuat pencernaan jadi agak lebih lancar dari biasanya. Randublatung, Kabupaten Blora. Panasnya kuperkirakan mencapai 35 derajat celcius. Matahari bersinar terik setiap hari, dan menyisakan panas dan lembab hingga malam.

1

Kami singgah di warung sate kambing bernama Barokah untuk makan malam. Pak Jawawi, sang pemilik warung suka sekali bercerita. Misalkan tentang pengalamannya hidup di Jakarta, dulu sekali,  menjual sate di kawasan Lapangan Persija, Menteng, Jakarta pusat. Aku memberitakan padanya bahwa lapangan itu sudah tidak ada lagi, diganti menjadi Taman Kota. Dia pun manggut-manggut mendengarnya. Lalu dia juga cerita, setelah dari Menteng dia melanjutkan usahanya di Jalan Margonda Raya, Depok. Saat itu kawasan Depok sudah ramai sekali, tapi dia tidak sempat tahu kalau di sana sekarang ‘ditumbuhi’ banyak mall besar.

“Yah… tapi tinggal di Jakarta itu susah tho, Mbak,” ujarnya sambil mengipas sate untukku dan temanku malam itu.
“Kenapa, Pak?” tanyaku.
“Banyak godaannya…”
“Apa tuh, Pak?” Tanyaku penasaran.
“ Saya kalau di sana main cewek melulu…Hahaha…”
Si Istri senyum-senyum mencibir sambil membuatkan es teh untukku. Aku pun ikut tersenyum sambil lirik-lirikan dengan temanku.

2 

Cerita Pak Jawawi dilanjutkan dengan kehidupan keluarganya di sini, dia sudah memiliki cucu dan hidup berbahagia di kampung. Lalu dia menawarkan kami berkunjung ke rumahnya di Desa Doplang, beberapa kilometer dari Randublatung. Di Doplang ada sumber minyak bumi yang menghidupi masyarakat. Sumber itu  mengeluarkan cairan hitam yang disebut latung (yang kuketahui sebagai minyak mentah) begitu saja dari dalam tanah. Pak Jawawi bilang tanah di Doplang sangat sulit digarap baik untuk bercocok tanam maupun untuk pengolahan minyak mentah atau latung itu. Maka tidak ada perusahaan migas bisa beroperasi di sana. Jadi sejak bertahun-tahun minyak bumi yang ada di sana hanya untuk rakyat saja. Dan menurutku itu bagus juga.

Pak Jawawi
Pak Jawawi

Kami terus mengobrol dengan hangat sambil menikmati sate kambing dengan bumbu kecap dibubuhi bawang merah, cabe rawit dan tomat, persis seperti sate Madura yang ada di Jakarta. Di tengah-tengah obrolan, datang seorang yang berekspresi sedikit ‘tidak wajar’ menurutku. Dia menghampiri Pak jawawi. Mereka bercakap sedikit dalam Bahasa Jawa. Lalu Pak Jawawi memberinya sebatang rokok.

4 

“Dia agak stress, Mbak, ditinggal istri,” jelas Pak Jawawi setelah lelaki itu berlalu. Aku manggut-manggut sambil terus mengawasi orang tersebut. “Tapi dia tidak mengganggu, kok,” Pak Jawawi langsung menambahkan, sepertinya mengerti kalau aku jadi agak cemas. Aku hanya mengangguk saja.

“Di sini banyak orang stress, Mbak.” Pak Jawawi melanjutkan pekerjaannya, mengipas sate untuk pengunjung lain yang jadi ikut mendengarkan percakapan kami. “Ada lagi Si ‘Anu’ yang suka kemari minta rokok sama saya. Orangnya gondrong, seram. Dia stress juga,” Pak Jawawi menambahkan, langsung kusambut, “Oo..itu saya sering ketemu di simpang jalan kalau sedang naik sepeda menuju rumah tempat saya menginap. Tapi dia juga tidak pernah mengganggu.”

5 

Sebelum kami meninggalkan warung itu, Pak Jawawi menawarkan untuk melihat-lihat sumber latung di Doplang, selain juga di dekat sana ada tempat keramat yang sering di-ziarahi-masyarakat. ‘Mbah’ penunggu tempat itu akan dengan senang hati bercerita tentang legenda masa lalu, asal usul kenapa tempat itu menjadi keramat. Aku berjanji akan main ke kampungnya suatu hari.

Kisah Cinta Pak Bambang

Kali ini aku dan temanku datang ke Warung Barokah saat sore hari, karena kami lupa makan sejak pagi, akibat terlalu sibuk mengerjakan hal-hal lain.

Di kota sekecil ini, sewajar apapun penampilan kami, tetap setiap orang megetahui bahwa kami orang asing. Semua orang memperhatikan dan menanyai asal-usul kami, di mana kami tinggal, apa tujuan kami ke sini, dan sejuta pertanyaan tentang the perfect stranger. Begitu juga seorang lelaki berperawakan besar seperti tentara, berkepala botak ditutupi topi pet, bercelana pendek dan duduk di meja yang bersebelahan dengan meja kami di Warung Sate Barokah.

6 

“Perkenalkan, nama saya Bambang,” ujarnya ramah,”Saya pernah sembilan tahun di Komplek Marinir Cilandak, Jakarta Selatan.”
“Oo… Bapak dari Angkatan Laut?” tanyaku.
“Ya. Tapi saya dikeluarkan karena ada masalah yang tidak bisa saya ceritakan di sini,” jawabnya sambil terus tersenyum.
“Kenapa tidak bisa, Pak?”
“Hahaha…saya ABRI stress…Hahahahahha…” dia terbahak keras sekali, membuat wajahnya berubah menjadi seram.

Walau agak takut, aku tetap bertanya ingin tahu. ”Trus,  Bapak di sini kerja apa?”
“Saya main kayu, Mbak.”
“Haa? Main kayu?” Aku membelalak, karena setahuku istilah itu digunakan untuk aksi curang dengan kekerasan. Dia mengangguk-angguk.
“Dia pengusaha kayu jati, Mbak.” Pak Jawawi menjelaskan, kusambut dengan, “Ooo…” sambil mengangguk-angguk.
“Pengusaha kayu? Berarti Bapak orang kaya, dong?” pancing saya.
Bambang terdiam sesaat, lalu menjawab, “Ya….kaya…ya kaya kamu juga….Huahahaha…” kembali dia terbahak-bahak nyaring. Aku ikut tertawa, berusaha nyaring juga.

Pak Jawawi

Udara Randublatung tidak bisa diajak berkompromi. Keringatku mengucur deras. Aku tidak berminat makan daging kambing. Hanya mencicipi sate hidangan makan siang temanku saja. Berkali-kali aku memesan es teh pada Ibu Jawawi.

Bu Jawawi
Bu Jawawi

Bambang mulai bercerita, sudah satu tahun lebih dua minggu istrinya pergi meninggalkan dia dan anak perempuan mereka yang berusia empat belas tahun. Aku cukup takjub, dia mengingat jumlah waktu dengan detil sampai ada hitungan tambahan dua minggu itu.
“Jangankan dua minggu, Mbak,  satu hari pun saya hitung sejak kepergian dia…” katanya menanggapi ketakjubanku.

Senyum tidak pernah hilang dari wajahnya, rasa pilu singgah di hatiku. 

Aku sejenak terdiam. Temanku makan dengan enggan. Kami berpandangan sesaat. Lalu aku kembali menoleh ke arah Bambang, pelan-pelan bertanya, “Meninggal, Pak?”
dia menjawab, “Ya. Meninggal…kan saya…Huahahahahahahahaha….” Aku langsung menendang kaki temanku, dan kami ikut tertawa nyaring. Pak Jawawi terkekeh-kekeh dari singgasananya di belakang panggangan sate, terus mengipas tanpa menoleh. Ibu Jawawi cekikian sampai jatuh terduduk di salah satu meja pelanggan yang sedang dibersihkannya.

9 

Setelah tawa reda, Bambang melanjutkan kisahnya, “Kalau saja dia meninggal dunia, Mbak, itu artinya sudah tidak ada lagi harapan buat saya. Tapi kalau dia meninggalkan saya, artinya masih ada sedikit harapan buat saya dan anak saya, tho?”
“Bapak masih megharapkan istri bapak balik lagi?” aku kembali terbelalak.
“Ya iya tho, Mbak, kasian anak saya.”
Lagi-lagi aku dan temanku saling melirik diam-diam.
“Tapi untungnya saya orangnya suka bercanda, Mbak. Segala persoalan saya serahkan pada Kanjeng Gusti,“ lanjut Bambang.
“Dia orangnya periang, Mbak. Suka melawak,” Pak Jawawi menambahkan.

Bambang meneruskan lagi, “Semua perasaan saya tumpahkan ke dalam lagu, Mbak, karena saya suka bernyanyi. Seperti begini misalnya…” Tiba-tiba Bambang merentangkan tangan dan mulai menyanyikan sepenggal lirik cinta dari pop band ternama yang sedang hits di seluruh Indonesia....kuingin kau tauuuuuuu...diriku di sini menanti dirimuu...meski kutunggu hingga ke ujung waktukuuuuu....dan berharap rasa ini kan abadi selamanyaaa....

sate kambing ala Pak Jawawi
sate kambing ala Pak Jawawi...pakai madu

Untuk ketiga kalinya aku menendang kaki temanku yang sepertinya tidak keberatan karena juga takjub luar biasa atas peristiwa di hadapan kami ini.

Sebelum kami meninggalkan warung, Bambang berpesan, “Jangan tersinggung ya, Mbak, Mas. Saya orangnya suka ngguyon. Mampir ke rumah saya. Nanti saya kasih mangga yang banyak…”

Kisah Cinta Pak Dar yang Perkasa

Akhirnya saya selalu ingin kembali ke warung sate Pak Jawawi. Bukan untuk makan daging kambing yang selain saya tidak terlalu suka, juga agak keterlaluan memakan binatang itu di terik matahari seperti ini. Saya mencari-cari alasan, atau memaksa teman saya untuk makan sate kambing di sana, agar saya bisa melihat ‘sesuatu’ lagi di tempat yang menyenangkan itu.

11 

Untungnya teman saya yang memang doyan daging kambing tidak keberatan. Lalu kami pun berjalan kaki menuju makan siang yang selalu aneh di Warung Sate Barokah milik Pak Jawawi.

bangku favoritku
sudut favorit

Aku dan temanku mengambil posisi favorit kami di meja paling ujung. 

Duduk di situ terasa seperti sedang duduk di bangku podium gedung teater. Strategis,  dan semua peristiwa di depan sana jadi seperti sebuah drama.

Pak Dar namanya. Dari penampilannya sepertinya dia orang cukup berada. Berperawakan tidak terlalu tinggi dan berkacamata. Menurut lihatan subjektifku, gerak-geriknya seperti seorang pengusaha toko bangunan atau pebisnis kayu dan semacamnya. Dia mengaku masih saudara ipar dengan Pak Purwantoro, induk semang kami di Randublatung. Maka dia punya alasan lebih jauh untuk menanyai kedua orang asing ini. Asli-nya dari mana? Masih ada hubungan apa dengan Pak Purwantoro? Ada urusan apa di Randublatung? Berapa lama tinggal di sini?

13 

Dia agak berani menanyakan apakah aku masih single atau tidak, dan cukup terkejut saat aku bilang sudah memiliki satu orang anak. Saat dia menanyakan apakah kami berdua suami istri, aku buru-buru menyangkalnya dan menjelaskan kami rekan kerja. Ujung-ujungnya, seperti yang aku harapkan, dia lebih bercerita tentang dirinya sendiri. Bahwa dia berusia hampir 50 tahun. Dia cukup bangga menyebut itu. Mungkin karena dia merasa masih berpenampilan dan terlihat lebih muda dari usianya. Dan aku mengakui, dalam hati,  itu memang benar.

14 

Sampailah kita pada hits sebuah kisah, “Istri saya tiga, Mbak, Mas. Anak saya sepuluh.” Katanya dengan ekspresi yang sangat bangga.Temanku langsung memberikan kakinya untuk kutendang.

Pak Dar melanjutkan, “Empat anak dari istri pertama, tiga dari yang kedua, dan tiga dari yang ketiga.”
Tanpa sadar  aku mendecak  keras  sambil menggeleng-gelengkan  kepala, “Ck..ck..ck..ck….”
“Poligami, Mbak, poligami…” Ucap Pak jawawi terkekeh sambil membungkus sate pesanan Pak Dar.
“Ya harus itu, Pak Jawawi. Kalau satu istri, mana kuat dia meladeni saya,” katanya, seperti sedang membusungkan dada. Pak Jawawi tertawa. Lalu Pak Dar berpamitan pada kami, setelah mengajak kami mampir ke rumahnya dan akan menyuguhkan mangga, kemudian melesat dengan motor bebeknya ke arah timur kota Randublatung.

15 

Singkat. Bahkan aku dan temanku tidak sempat bertanya banyak padanya, dia sudah menghilang. Meninggalkan kami yang melongo.

*     *     *

Sambil meninggalkan Warung Sate Barokah milik Pak Jawawi, temanku berpendapat dia melihat ada banyak orang stress di sana, di warung Pak Jawawi, di Randublatung. 

Berbeda dengan pendapatku yang merasa ada banyak kisah cinta di tempat itu. Dan kita sepakat, untuk lihat nanti saja, pendapat  siapa yang tepat di waktu ‘santap sate kambing’  berikutnya.

16 

Malam ini Randublatung diguyur hujan lebat sekali. Aku senang, karena tidak lagi merasa kepanasan yang luar biasa. Setelah hujan reda kami kembali ke sana, lebih untuk membuktikan hal itu dari pada menikmati sate kambing. Namun tidak ada kisah cinta yang bisa kusaksikan malam ini di warung Pak Jawawi, selain adegan Pak Jawawi dan istrinya saling berbisik satu sama lain di saat warung sudah sepi…

Randublatung, Kabupaten Blora