Kamis, 15 Oktober 2009

Warung Barokah Pak Jawawi: Sate Kambing, Gule, Tongseng dan Kumpulan Kisah Cinta

Oleh Otty Widasari | Pada Minggu, 15 November 2009
* * * 
 
Buah mangga sedang musim saat ini. Di setiap rumah yang kukunjungi aku mendapat suguhan itu. Menyenangkan sekali, walau membuat pencernaan jadi agak lebih lancar dari biasanya. Randublatung, Kabupaten Blora. Panasnya kuperkirakan mencapai 35 derajat celcius. Matahari bersinar terik setiap hari, dan menyisakan panas dan lembab hingga malam.

1

Kami singgah di warung sate kambing bernama Barokah untuk makan malam. Pak Jawawi, sang pemilik warung suka sekali bercerita. Misalkan tentang pengalamannya hidup di Jakarta, dulu sekali,  menjual sate di kawasan Lapangan Persija, Menteng, Jakarta pusat. Aku memberitakan padanya bahwa lapangan itu sudah tidak ada lagi, diganti menjadi Taman Kota. Dia pun manggut-manggut mendengarnya. Lalu dia juga cerita, setelah dari Menteng dia melanjutkan usahanya di Jalan Margonda Raya, Depok. Saat itu kawasan Depok sudah ramai sekali, tapi dia tidak sempat tahu kalau di sana sekarang ‘ditumbuhi’ banyak mall besar.

“Yah… tapi tinggal di Jakarta itu susah tho, Mbak,” ujarnya sambil mengipas sate untukku dan temanku malam itu.
“Kenapa, Pak?” tanyaku.
“Banyak godaannya…”
“Apa tuh, Pak?” Tanyaku penasaran.
“ Saya kalau di sana main cewek melulu…Hahaha…”
Si Istri senyum-senyum mencibir sambil membuatkan es teh untukku. Aku pun ikut tersenyum sambil lirik-lirikan dengan temanku.

2 

Cerita Pak Jawawi dilanjutkan dengan kehidupan keluarganya di sini, dia sudah memiliki cucu dan hidup berbahagia di kampung. Lalu dia menawarkan kami berkunjung ke rumahnya di Desa Doplang, beberapa kilometer dari Randublatung. Di Doplang ada sumber minyak bumi yang menghidupi masyarakat. Sumber itu  mengeluarkan cairan hitam yang disebut latung (yang kuketahui sebagai minyak mentah) begitu saja dari dalam tanah. Pak Jawawi bilang tanah di Doplang sangat sulit digarap baik untuk bercocok tanam maupun untuk pengolahan minyak mentah atau latung itu. Maka tidak ada perusahaan migas bisa beroperasi di sana. Jadi sejak bertahun-tahun minyak bumi yang ada di sana hanya untuk rakyat saja. Dan menurutku itu bagus juga.

Pak Jawawi
Pak Jawawi

Kami terus mengobrol dengan hangat sambil menikmati sate kambing dengan bumbu kecap dibubuhi bawang merah, cabe rawit dan tomat, persis seperti sate Madura yang ada di Jakarta. Di tengah-tengah obrolan, datang seorang yang berekspresi sedikit ‘tidak wajar’ menurutku. Dia menghampiri Pak jawawi. Mereka bercakap sedikit dalam Bahasa Jawa. Lalu Pak Jawawi memberinya sebatang rokok.

4 

“Dia agak stress, Mbak, ditinggal istri,” jelas Pak Jawawi setelah lelaki itu berlalu. Aku manggut-manggut sambil terus mengawasi orang tersebut. “Tapi dia tidak mengganggu, kok,” Pak Jawawi langsung menambahkan, sepertinya mengerti kalau aku jadi agak cemas. Aku hanya mengangguk saja.

“Di sini banyak orang stress, Mbak.” Pak Jawawi melanjutkan pekerjaannya, mengipas sate untuk pengunjung lain yang jadi ikut mendengarkan percakapan kami. “Ada lagi Si ‘Anu’ yang suka kemari minta rokok sama saya. Orangnya gondrong, seram. Dia stress juga,” Pak Jawawi menambahkan, langsung kusambut, “Oo..itu saya sering ketemu di simpang jalan kalau sedang naik sepeda menuju rumah tempat saya menginap. Tapi dia juga tidak pernah mengganggu.”

5 

Sebelum kami meninggalkan warung itu, Pak Jawawi menawarkan untuk melihat-lihat sumber latung di Doplang, selain juga di dekat sana ada tempat keramat yang sering di-ziarahi-masyarakat. ‘Mbah’ penunggu tempat itu akan dengan senang hati bercerita tentang legenda masa lalu, asal usul kenapa tempat itu menjadi keramat. Aku berjanji akan main ke kampungnya suatu hari.

Kisah Cinta Pak Bambang

Kali ini aku dan temanku datang ke Warung Barokah saat sore hari, karena kami lupa makan sejak pagi, akibat terlalu sibuk mengerjakan hal-hal lain.

Di kota sekecil ini, sewajar apapun penampilan kami, tetap setiap orang megetahui bahwa kami orang asing. Semua orang memperhatikan dan menanyai asal-usul kami, di mana kami tinggal, apa tujuan kami ke sini, dan sejuta pertanyaan tentang the perfect stranger. Begitu juga seorang lelaki berperawakan besar seperti tentara, berkepala botak ditutupi topi pet, bercelana pendek dan duduk di meja yang bersebelahan dengan meja kami di Warung Sate Barokah.

6 

“Perkenalkan, nama saya Bambang,” ujarnya ramah,”Saya pernah sembilan tahun di Komplek Marinir Cilandak, Jakarta Selatan.”
“Oo… Bapak dari Angkatan Laut?” tanyaku.
“Ya. Tapi saya dikeluarkan karena ada masalah yang tidak bisa saya ceritakan di sini,” jawabnya sambil terus tersenyum.
“Kenapa tidak bisa, Pak?”
“Hahaha…saya ABRI stress…Hahahahahha…” dia terbahak keras sekali, membuat wajahnya berubah menjadi seram.

Walau agak takut, aku tetap bertanya ingin tahu. ”Trus,  Bapak di sini kerja apa?”
“Saya main kayu, Mbak.”
“Haa? Main kayu?” Aku membelalak, karena setahuku istilah itu digunakan untuk aksi curang dengan kekerasan. Dia mengangguk-angguk.
“Dia pengusaha kayu jati, Mbak.” Pak Jawawi menjelaskan, kusambut dengan, “Ooo…” sambil mengangguk-angguk.
“Pengusaha kayu? Berarti Bapak orang kaya, dong?” pancing saya.
Bambang terdiam sesaat, lalu menjawab, “Ya….kaya…ya kaya kamu juga….Huahahaha…” kembali dia terbahak-bahak nyaring. Aku ikut tertawa, berusaha nyaring juga.

Pak Jawawi

Udara Randublatung tidak bisa diajak berkompromi. Keringatku mengucur deras. Aku tidak berminat makan daging kambing. Hanya mencicipi sate hidangan makan siang temanku saja. Berkali-kali aku memesan es teh pada Ibu Jawawi.

Bu Jawawi
Bu Jawawi

Bambang mulai bercerita, sudah satu tahun lebih dua minggu istrinya pergi meninggalkan dia dan anak perempuan mereka yang berusia empat belas tahun. Aku cukup takjub, dia mengingat jumlah waktu dengan detil sampai ada hitungan tambahan dua minggu itu.
“Jangankan dua minggu, Mbak,  satu hari pun saya hitung sejak kepergian dia…” katanya menanggapi ketakjubanku.

Senyum tidak pernah hilang dari wajahnya, rasa pilu singgah di hatiku. 

Aku sejenak terdiam. Temanku makan dengan enggan. Kami berpandangan sesaat. Lalu aku kembali menoleh ke arah Bambang, pelan-pelan bertanya, “Meninggal, Pak?”
dia menjawab, “Ya. Meninggal…kan saya…Huahahahahahahahaha….” Aku langsung menendang kaki temanku, dan kami ikut tertawa nyaring. Pak Jawawi terkekeh-kekeh dari singgasananya di belakang panggangan sate, terus mengipas tanpa menoleh. Ibu Jawawi cekikian sampai jatuh terduduk di salah satu meja pelanggan yang sedang dibersihkannya.

9 

Setelah tawa reda, Bambang melanjutkan kisahnya, “Kalau saja dia meninggal dunia, Mbak, itu artinya sudah tidak ada lagi harapan buat saya. Tapi kalau dia meninggalkan saya, artinya masih ada sedikit harapan buat saya dan anak saya, tho?”
“Bapak masih megharapkan istri bapak balik lagi?” aku kembali terbelalak.
“Ya iya tho, Mbak, kasian anak saya.”
Lagi-lagi aku dan temanku saling melirik diam-diam.
“Tapi untungnya saya orangnya suka bercanda, Mbak. Segala persoalan saya serahkan pada Kanjeng Gusti,“ lanjut Bambang.
“Dia orangnya periang, Mbak. Suka melawak,” Pak Jawawi menambahkan.

Bambang meneruskan lagi, “Semua perasaan saya tumpahkan ke dalam lagu, Mbak, karena saya suka bernyanyi. Seperti begini misalnya…” Tiba-tiba Bambang merentangkan tangan dan mulai menyanyikan sepenggal lirik cinta dari pop band ternama yang sedang hits di seluruh Indonesia....kuingin kau tauuuuuuu...diriku di sini menanti dirimuu...meski kutunggu hingga ke ujung waktukuuuuu....dan berharap rasa ini kan abadi selamanyaaa....

sate kambing ala Pak Jawawi
sate kambing ala Pak Jawawi...pakai madu

Untuk ketiga kalinya aku menendang kaki temanku yang sepertinya tidak keberatan karena juga takjub luar biasa atas peristiwa di hadapan kami ini.

Sebelum kami meninggalkan warung, Bambang berpesan, “Jangan tersinggung ya, Mbak, Mas. Saya orangnya suka ngguyon. Mampir ke rumah saya. Nanti saya kasih mangga yang banyak…”

Kisah Cinta Pak Dar yang Perkasa

Akhirnya saya selalu ingin kembali ke warung sate Pak Jawawi. Bukan untuk makan daging kambing yang selain saya tidak terlalu suka, juga agak keterlaluan memakan binatang itu di terik matahari seperti ini. Saya mencari-cari alasan, atau memaksa teman saya untuk makan sate kambing di sana, agar saya bisa melihat ‘sesuatu’ lagi di tempat yang menyenangkan itu.

11 

Untungnya teman saya yang memang doyan daging kambing tidak keberatan. Lalu kami pun berjalan kaki menuju makan siang yang selalu aneh di Warung Sate Barokah milik Pak Jawawi.

bangku favoritku
sudut favorit

Aku dan temanku mengambil posisi favorit kami di meja paling ujung. 

Duduk di situ terasa seperti sedang duduk di bangku podium gedung teater. Strategis,  dan semua peristiwa di depan sana jadi seperti sebuah drama.

Pak Dar namanya. Dari penampilannya sepertinya dia orang cukup berada. Berperawakan tidak terlalu tinggi dan berkacamata. Menurut lihatan subjektifku, gerak-geriknya seperti seorang pengusaha toko bangunan atau pebisnis kayu dan semacamnya. Dia mengaku masih saudara ipar dengan Pak Purwantoro, induk semang kami di Randublatung. Maka dia punya alasan lebih jauh untuk menanyai kedua orang asing ini. Asli-nya dari mana? Masih ada hubungan apa dengan Pak Purwantoro? Ada urusan apa di Randublatung? Berapa lama tinggal di sini?

13 

Dia agak berani menanyakan apakah aku masih single atau tidak, dan cukup terkejut saat aku bilang sudah memiliki satu orang anak. Saat dia menanyakan apakah kami berdua suami istri, aku buru-buru menyangkalnya dan menjelaskan kami rekan kerja. Ujung-ujungnya, seperti yang aku harapkan, dia lebih bercerita tentang dirinya sendiri. Bahwa dia berusia hampir 50 tahun. Dia cukup bangga menyebut itu. Mungkin karena dia merasa masih berpenampilan dan terlihat lebih muda dari usianya. Dan aku mengakui, dalam hati,  itu memang benar.

14 

Sampailah kita pada hits sebuah kisah, “Istri saya tiga, Mbak, Mas. Anak saya sepuluh.” Katanya dengan ekspresi yang sangat bangga.Temanku langsung memberikan kakinya untuk kutendang.

Pak Dar melanjutkan, “Empat anak dari istri pertama, tiga dari yang kedua, dan tiga dari yang ketiga.”
Tanpa sadar  aku mendecak  keras  sambil menggeleng-gelengkan  kepala, “Ck..ck..ck..ck….”
“Poligami, Mbak, poligami…” Ucap Pak jawawi terkekeh sambil membungkus sate pesanan Pak Dar.
“Ya harus itu, Pak Jawawi. Kalau satu istri, mana kuat dia meladeni saya,” katanya, seperti sedang membusungkan dada. Pak Jawawi tertawa. Lalu Pak Dar berpamitan pada kami, setelah mengajak kami mampir ke rumahnya dan akan menyuguhkan mangga, kemudian melesat dengan motor bebeknya ke arah timur kota Randublatung.

15 

Singkat. Bahkan aku dan temanku tidak sempat bertanya banyak padanya, dia sudah menghilang. Meninggalkan kami yang melongo.

*     *     *

Sambil meninggalkan Warung Sate Barokah milik Pak Jawawi, temanku berpendapat dia melihat ada banyak orang stress di sana, di warung Pak Jawawi, di Randublatung. 

Berbeda dengan pendapatku yang merasa ada banyak kisah cinta di tempat itu. Dan kita sepakat, untuk lihat nanti saja, pendapat  siapa yang tepat di waktu ‘santap sate kambing’  berikutnya.

16 

Malam ini Randublatung diguyur hujan lebat sekali. Aku senang, karena tidak lagi merasa kepanasan yang luar biasa. Setelah hujan reda kami kembali ke sana, lebih untuk membuktikan hal itu dari pada menikmati sate kambing. Namun tidak ada kisah cinta yang bisa kusaksikan malam ini di warung Pak Jawawi, selain adegan Pak Jawawi dan istrinya saling berbisik satu sama lain di saat warung sudah sepi…

Randublatung, Kabupaten Blora

Senin, 08 Juni 2009

WALL-E: Mengembalikan Sisi Primordial Manusia

WALL-E: Mengembalikan Sisi Primordial Manusia PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Otty Widasari   
Senin, 08 Juni 2009 15:17


Ketika menyaksikan manusia-manusia dalam filem Wall-E produksi Pixar/Disney ini, saya langsung teringat suatu hari di kelas antropologi semasa kuliah dulu. Waktu itu, dosen saya bercerita tentang perkembangan evolusi tubuh manusia yang sudah bisa diperkirakan para ahli antropologi jauh-jauh hari. Menurut ceritanya, pada abad mendatang, bentuk tubuh manusia akan bulat seperti bola. Itu disebabkan semua kebutuhan manusia dipengaruhi dan dibantu oleh sistem komputerisasi. Bahkan saat ini ketergantungan manusia kepada komputer sudah demikian tingginya. Contoh proses itu bahkan sudah terjadi pada diri saya sendiri. Saya seorang yang gagap teknologi, tapi keinginanan memiliki komputer pribadi menguat setelah kerja semakin membutuhkan kemudahan.

Kemudian, sejak komputer pribadi itu telah menjadi milik saya, maka aneh rasanya kalau sehari saja saya tidak membuka komputer, walau hanya sekadar bermain game. Bermain adalah kebutuhan mendasar saya. Sebelumnya, saya suka sekali mengisi TTS atau sudoku. Bahkan, saya juga biasa dan bisa merasakan kegirangan bermain halma atau catur walau sendirian, tanpa lawan, bila saat itu memang tak ada lawan. Namun sejak tenggelam dalam permainan paling sederhana sekalipun di komputer, saya tak pernah lagi menyentuh lembar TTS atau sudoku, apalagi halma dan catur yang sangat mudah terjatuh berantakan saat disenggol anak saya yang sedang bermain papan luncur di dalam rumah.



Maka dalam waktu beberapa bulan, pola hidup saya secara tidak sengaja mulai tersiklus tiap harinya. Setelah mengantar anak sekolah, saya pergi ke kantor, membuka komputer untuk berinternet (serius bekerja ataupun bermain). Dan itu berlangsung sampai siang. Lalu saya menjemput anak dari sekolah, menghabiskan waktu di rumah untuk makan siang dan bermain. Saat dia mulai sibuk dengan mainannya sendiri, saya juga sibuk dengan game di komputer. Sore hari saya lanjutkan lagi interaksi saya dengan komputer di kantor, sampai malam. Bahkan saya sering begadang bersama komputer.

Dalam waktu hanya beberapa bulan, berat tubuh saya yang normalnya 53 kg, beranjak cepat menjadi 61 kg. Mungkin tidak perlu menunggu sampai tahun 2275, tahunnya WALL-E berkelana ke kapal luar angkasa Axiom, manusia berbentuk bulat seperti bola itu sudah ada: saya, mungkin salah satunya.

Bagaimana dengan interaksi antar manusia di saat saya dan anak saya merasa tidak bermasalah saat kami asyik dengan mainan kami sendiri-sendiri? Dia bisa bermain game vektor online di komputer sampai berjam-jam, atau menyaksikan tokoh Pingu kesayangannya dari kutub selatan, secara online pula. Keantengannya bisa membuat saya tenang mengobrol dengan teman-teman SMA yang akhirnya saya jumpai kembali di jendela Facebook setelah 17 tahun berpisah, sekaligus bercakap di Yahoo Messenger dengan suami saya, yang pada suatu waktu sedang berada di Tokyo. Saya pun tetap bisa memperlihatkan perkembangan anak saya melalui foto yang saya ambil saat itu juga dari program Photobooth di komputer. Dalam hitungan menit suami saya sudah menerima gambar anak kami yang sedang main game online melalui pengiriman data foto sambil bercakap di pesan instan Yahoo. Lalu suami saya semakin rindu keluarga. Maka dia akan segera mengundang saya untuk menggunakan fasilitas webcam dan kami pun serasa saling bertemu langsung dengannya.


Lantas, bagaimana bila akhirnya hubungan seks pun bisa ditempuh melalui jalur singkat tanpa jarak di dunia maya saat manusia sudah tidak lagi mempermasalahkan batasan bingkai komputer yang membingkai wajah suaminya di tempat lain? Saat tidak penting lagi baginya untuk menyentuh kulit wajah suaminya yang ganteng untuk dirasakan oleh sensor-sensor ujung jarinya?

Lalu bagimana dengan bayi-bayi di kapal luar angkasa Axiom bisa terlahir kalau salah satu adegan dalam filem ini menggambarkan John dan Marry, dua warga korporasi Buy ‘n Large di Axiom yang berbeda jenis kelamin merasakan hal yang aneh saat tangan mereka saling bersentuhan, menunjukkan peri kehidupan manusia di saat itu yang benar-benar telah kehilangan kemanusiaannya karena semua telah tercukupi oleh sebuah sistem korporasi komputer yang mengaturnya? Lebih jauh lagi, bolehlah kita mengasumsikan bahwa bayi-bayi itu terlahir dengan cara inseminasi. Kalau memang begitu, saya sangat berharap ada adegan yang menggambarkan cara manusia membuang hajatnya, karena Andrew Stanton, sang sutradara, sepertinya sangat ingin membeberkan sampai ke hal terkecil sekalipun sebagai penggambaran betapa sebuah robot pengklasifikasi sampah yang ditinggalkan di bumi untuk merapikannya selama 500 tahun dan lupa dimatikan saat manusia terakhir sudah minggat dari bumi yang terkontaminasi racun polusi, mampu mengembalikan rasa kemanusiaan itu melalui hal-hal terkecil, seperti: jatuh cinta.



Bahkan kisah pertemuan Adam dan Hawa harus ditarik ulang kembali oleh filem ini  untuk mengingatkan umat manusia akan penyelamatan dirinya; untuk mencintai kehidupan yang diberikan oleh tanaman atau kesuburan yang merupakan tugas EVE (Extra-terrestial Vegetation Evaluator), si robot pencari tanaman yang dipersonifikasi sebagai Hawa, ibunya umat manusia.

Para kreator semisal sutradara yang mungkin berpijak pada kebahagiaan duniawi, yang sangat mencintai kehidupan, menggambarkan bumi sebagai surganya umat manusia, karena WALL-E sebagai personifikasi Adam, datang dari bumi, lalu bertemu EVE, dan jatuh cinta. Setelah EVE mendapatkan sebuah kecambah yang siap tumbuh dan menelannya, maka mereka berdua turun ke sebuah dunia tempat kehidupan berlangsung, yaitu di kapal luar angkasa Axiom yang diciptakan Buy ’n Large, sebuah sentral kekuasaan semacam negara berbentuk korporasi. Sistem komputerisasi di sini bisa jadi diibaratkan sebagai iblis yang menguasai kehidupan manusia saat ini. Maka sejumput tanah ditumbuhi sejenis tanaman akan mengembalikan manusia ke surga yang menjadi tujuan akhir mereka, namun dipercaya sebagai awal sebuah kehidupan baru.

Rupanya sang sutradara dan penulis cerita mengibaratkan kehidupan di Axiom sebagai pencapaian terakhir proses kehidupan umat manusia, karena sejak tahun 2105 hingga tahun yang digambarkan sebagai tahun 2775, kehidupan manusia selalu berjalan dengan sistem yang sama. Manusia-manusia yang sudah sebulat bola tidak berinteraksi secara langsung dengan manusia lainnya, mereka bercakap melalui layar hologram, dengan menggunakan mata dan telinga yang langsung digunakan untuk berinteraksi dengan komputer, juga jari-jari yang digunakan untuk memencet sedikit tombol dan tidak memerlukan kerja otot yang besar. Sutradara menegaskan hal ini dengan menyajikan gambar-gambar dekat pada kerja seperangkat indera perasa manusia tersebut. Bahkan saat Wall-E tidak sengaja mematikan layar hologram milik Marry, barulah diketahui bahwa Marry takjub dengan keadaan sekelilingnya. Marry dan manusia lainnya bahkan tidak menyadari bahwa mereka memiliki kolam renang walau selalu berada di tepiannya.



Di Axiom, sedari kecil, manusia yang diwakili oleh para bayi diajarkan dogmatisme seperti agama: ‘A’ for Axiom, your home sweet home. ‘B’ for BnL, your very best friend. Demikianlah kehidupan terus berlangsung dengan sama selama 700 tahun. Tampaknya perubahan hanya terjadi pada kerja otak manusia yang menjadi makin autistik, di mana digambarkan bumi tempat Wall-E berdiam terdapat tayangan iklan kapal luar angkasa Axiom yang menjadi tujuan indah dari kehidupan umat manusia, lengkap dengan semua perangkat hiburannya. Manusia-manusia yang masih langsing menikmati itu semua sambil berinteraksi dengan sesamanya menggunakan separuh cara komunikasi tradisional. Sedangkan pada kenyataan yang disajikan di tahun 2775, manusia saling berinteraksi secara maya walau mereka sebenarnya duduk bersisian.

Kedatangan Wall-E membuat perubahan di Axiom, di mana kepurbaannya membuat mereka kembali mengenal kemanusiaan dalam diri mereka, dan akhirnya menghancurkan sistem komputerisasi dan robotik yang berlangsung ratusan tahun. Juga mengungkap konspirasi antara manusia masa lalu dengan sistem komputer yang selama ini menjadi Top Secret, yaitu bahwa kadar racun di bumi sudah melampaui batas toleransi kehidupan sehingga manusia tidak mungkin kembali ke sana. Sedangkan dalam perencanaan awal korporasi BnL, Axiom akan kembali ke bumi setelah sekitar 500 tahun, di mana para robot Wall-E selesai membersihkan semua sampah di bumi.

Dalam setiap jangka waktu tertentu Axiom mengirimkan robot EVE, yang bertugas mencari contoh tanaman yang mungkin masih bisa bertahan tumbuh di bumi. Dan ke semuanya selalu pulang dengan hasil nihil. Di tahun 2110 CEO BnL membuat video wasiat kepada Autopilot Axiom bahwa rencana pulang dalam jangka 500 tahun harus dibatalkan karena kadar racun yang tinggi tersebut. Begitulah, robot-robot Wall-E pun dihentikan kerjanya. Satu robot Wall-E kecil terlupa dimatikan. Seorang diri, dia terus melakukan kerja mengklasifikasi sampah bumi ke dalam bentuk padat dan menyusunnya selama ratusan tahun. Wall-E dalam filem digambarkan sebagai robot yang memiliki emosi layaknya manusia, yang dipelajarinya dari filem Hello Dolly, di mana manusia terlahir berpasangan dan mengungkapkan perasaan dengan saling menggengam tangan, mengaitkan jemari. Wall-E belajar sesuatu dari tayangan filem yang ditontonnya melalui iPod dan diperbesar lewat sebuah TV layar datar. Menunjukkan bahwa robot itu memiliki jari-jari namun tak ada pasangan untuk menautkannya. Saat salah satu robot EVE di tahun 2775 datang, dia menemukan sejenis kecambah yang masih hidup sebagai persembahan dari Wall-E yang jatuh cinta padanya, membuat mereka harus pergi meninggalkan bumi layaknya Adam dan Hawa meninggalkan surga setelah menelan buah terlarang, demi berbuat sesuatu agar dapat kembali ke bumi, surganya kehidupan umat manusia.

Akhirnya, Kapten B. McCrea memutuskan untuk melawan dominasi robot dan komputer dan berkeras kembali ke bumi setelah melihat setangkai kecambah yang nyatanya masih bisa hidup di bumi. Dus, umat manusia kembali ke alam primordialnya (bumi), untuk memulai kehidupan yang baru.



Promosi Produk Apple

Pixar Studio yang sebagian besar proses kerjanya menggunakan komputer Apple, dalam filem ini mungkin ingin menyampaikan sebuah pesan kemanusiaan tentang kekuatan komputer yang bahkan lebih fana dari kehidupan manusia. Begitu mudah untuk dihancurkan. Biar bagaimanapun, manusialah pencipta segala sistem komputer.

Namun di sisi lain, Pixar seperti sedang mengiklankan produk-produk Apple. Siapapun yang menonton filem Wall-E, akan menyadari beberapa petunjuk yang mengarah pada produk-produk Apple baik yang lama, baru maupun mendatang (yang masih imajinatif). Misalnya, penokohan Wall-E, robot yang selalu memulai hari dengan mengambil tenaga dari matahari dan mengeluarkan bunyi khas komputer Apple Macintosh setelah baterainya penuh; Wall-E memutar kaset mini DV-nya menggunakan iPod, yang ditontonnya melalui layar pembesar datar. Iklan produk itu disisipkan dengan sangat gamblang, mengingat Steve Jobs, pendiri studio Pixar adalah juga pendiri perusahaan komputer Apple.

Perhatikan saja EVE yang terlihat seperti sebuah robot masa depan Apple, jika memang Apple akan mengeluarkan produk robot. Andrew Stanton menginginkan EVE terlihat secantik mungkin. Tak tanggung-tanggung, Jonathan Ive pun dikirimkan Steve Jobs untuk konsultasi sehari di studio Pixar. Jonathan Ive merupakan otak di balik hampir semua rancangan produk Apple (sejak iMac pertama di tahun 1998, iPod 2001, sampai iPhone baru-baru ini). EVE dengan begitu dapat dikatakan sebagai sensibilitas Apple. Bentuk telur tubuhnya mulus dan bulat. Dia tak memiliki tombol-tombol visibel. Lengannya terkunci tanpa sambungan pada sisi tubuhnya. Hanya lampu indikator bersinar dari balik dadanya. Permukaannya yang berwarna putih sama dengan warna putih berkilau dari plastik pelapis Macbook.

WALL-E: Receding to Human’s Primordial Side

WALL-E: Receding to Human’s Primordial Side PDF Print E-mail
Written by Otty Widasari   
Monday, 08 June 2009 15:17


Upon seeing the people as depicted in Pixar/Disney’s WALL-E, I was instantly reminded of a day in anthropology class back in my university days. That day, the professor elaborated human physical evolution which is only predictable to anthropologists long before it would actually take place. According to his elaboration, in future centuries, man will start to look rounder, owing the shape to the all-computerized fulfillment of needs. Even today, human dependency level to computers is already high. An example to that process might as well be me. I am one of those people oblivious to technological advances, yet my wish to have a personal computer have grown even stronger since my works began to demand greater accessibility.

Then, ever since I own my personal computer, it feels strange not to turn it on even for a day, even if I only use it to play games. To play is my basic need. Previously, I did crosswords and Sudoku. I can even be content playing checkers or chess solitaire, without partner, if so happens there isn’t anyone to play against with. But since I’m absorbed in computer games, I no longer touch crosswords or Sudoku, let alone checkers and chess which pawns are prone to get messy once my kid starts to play skate inside the house. 
 


Hence in only a few months time, my life pattern incidentally cycled with each day passes. Right after dropping my son at school I go to the office, open up my computer to get connected (either seriously working or playing games). That would continue until around noon. Then I pick up my son, spend some time at home for lunch and play. When he starts to play his game, I will also get busy with my own computer game. During the afternoon, I would get back to the office, interacting yet again with my computer, up until the evening. I even use to stay up late with my computer.
Within these few months, I, who normally weighed 53 kg, easily gained weight to 61 kg. We might not need to wait as far as 2775, the year when WALL-E travels to the spaceship Axiom; that ball-like round man is here, now: me, for instance.


What about human interaction when my son and I are guiltlessly absorbed in each other’s game? He can play an online vector game for hours, or watch his lovely Pingu in the Antarctic, also online. His tranquility enables me to uninterruptedly chat with my high school friends via Facebook after 17 years not seeing each other, while also simultaneously chat with my husband—which during one time was in Tokyo—via Yahoo Messenger. I can show him a picture of our son that I took with Photobooth. Within minutes he received the picture of our little one playing online game thanks to photo transmission app provided in Yahoo instant messaging. Then he would miss us even more and invited me to turn on my webcam. We were as if seeing each other in real life. 

What happens, then, if eventually sex life is enabled through such immediate, virtual shortcut; when a wife no longer minds the borders of a computer monitor framing her husband’s face in another part of the world? When it no longer matters to her to touch his handsome facial feature and feel it through the censors on her fingertips?
Then how are the babies in Axiom be born when one of the scenes show how John and Marry, two citizens of Buy ‘n Large corporation of the opposite sex feel tingled when their hands touched, indicating a life force sucked dry by computerized corporation? Furthermore, we may as well assume that the babies are inseminated. If they are, I curiously expect a scene that would tell me of how man of the future defecate because Andrew Stanton, the director, seems to be obsessed to depict detailed description of how this waste controller robot—whose directive is to clean up the Earth for the next 500 years, left on Earth while still fully operating when the last batch of human race has departed from the planet to avert poisonous pollution—is able to bring back that humane emotion through little things such as: falling in love.



A reenactment of Genesis is drawn in the film to remind human race of salvation; to love life, a blessing bestowed by natural plantations or fertility, which was the directive of EVE (Extra-terrestrial Vegetation Evaluator), a vegetation-seeking robot personified as Eve, the mother of all human being.
The creators of the film, such as the director, hold their ground of earthly bliss, of utter loving of life, depict Earth as a human’s divine land, by way of picturing WALL-E as Adam personified, originated from Earth, met EVE, and fell in love. After EVE located a growing sprout and store it inside her, they descend to a world where life takes place, the spaceship Axiom built by Buy ‘n Large, a central power not unlike a country in a form of a corporation. Computerized system as applied in this new world figuratively depicted as an overpowering evil. Thus a sprout-containing piece of soil will bring back human life to the land of divinity, believed as a beginning to a new life.

Apparently the director and creators describe the life in Axiom as a final phase of human life, as they picture a stable, constant, computerized life system that’s been going from year 2105 to 2775. These round-shaped human no longer interact directly to their counterparts. They communicated through a hologram screens, with their eyes and ears directly connected to devices, and also fingers to touch command buttons—very little used and take only little amount of muscle-work. The director emphasizes this by presenting images in immediate distance to the user’s senses. When WALL-E accidentally switched off Marry’s hologram screen, only then was she amazed upon realizing her surroundings. Marry, as well as other people, didn’t even realize that they have a pool, eventhough they often spend time by the poolside. 
 


At Axiom, since early in life, babies are dogmatized as we currently are by religion: ‘A’ is for Axiom, your home sweet home. ‘B’ is for BnL, your very best friend. So life goes for 700 years. The only change is, in fact, the way human brain works that’s getting more and more autistic. On Earth, where WALL-E dwells, there are commercials portraying life in Axiom as the ultimate destination for man, complete with all kinds of entertainment. Men, then still slender, enjoy all of the above while interacting with other men with semi-conventional means of communication. In reality, what happens in 2775, men interact virtually even when sitting next to one another.

WALL-E’s presence brought changes in Axiom; his ancientness made people rediscover the humanity inside them and led people to destroy the hundred-year-long running computerized system and robotics. His presence also exposed an age-old top secret conspiracy concerning Earth’s intolerable toxicity level which makes it impossible to be inhabited by human. BnL’s initial plan was for Axiom to return after 500 years, an estimated time frame for WALL-Es to finish cleaning up.

Every now and then, Axiom launches EVE to find a vegetation specimen that might survive Earth’s toxic environment. All of them returned empty-handed. In 2110, BnL CEO recorded a testament to Axiom Autopilot that the plan to return after 500 years would have be aborted due to Earth’s hostile toxicity. So it was, and thus all WALL-Es are deactivated save for one small-sized WALL-E. Single-handedly he kept classifying garbage into compact squares and stacks them for hundreds of years. WALL-E is portrayed as a robot capable of emotions just as humans are—a capacity he inferred from the movie Hello Dolly where men and women are destined to pair and express their feelings by holding hands, clasping fingers. WALL-E learned something from the movie he watched through an iPod and magnified through a flatscreen television. The scene implies WALL-E’s lonesome fingers, with no other pair of hands to hold on to. When an EVE robot was launched in 2775, she finds a specimen of a growing plant presented by WALL-E as his expression of love, leading them to depart the Earth—just as Adam and Eve descended from Eden later to the violation of forbidden fruit—for the sake of taking action to return to Earth, the Eden for mankind.

Finally, Captain B. McCrea decided to take a stand to revolt against robot and computer domination and persisted to return to Earth upon reviewing the sprout that eventually survived. Thus, mankind returns to their primordial nature (the Earth) to start afresh a new life.



Apple’s Subtle Promotion

Pixar Studio, which in its working process uses Apple computers, was probably trying to deliver a message on humanity, on the transitory power of computers—an even more transitory one compared to human life. A power utterly destructible. Humans are, after all, the creator of all kinds of computer system.

On the other hand, Pixar was seemingly advertising Apple products. Anyone who watches WALL-E would see the hints of Apple designs—old, new or even imaginary—in the film. Take WALL-E, a robot who starts his day by charging his solar power and produces a sound that rings to a fully-charged Apple Macintosh; he plays a mini DV tape using an iPod, enlarging the image through a flatscreen. These commercials are vividly inserted, noting that Steve Jobs, the founder of Pixar, is also co-founder of Apple.

Take a closer look at EVE who resembles a future Apple robot—if indeed Apple is planning to launch a robot. Andrew Stanton wanted to make EVE as pretty as possible. To guarantee this, Steve Jobs sent Jonathan Ive to do a one-day consultation at Pixar. Ive is the man behind nearly all Apple products (since the first iMac in 1998, iPod in 2001, and recently, iPhone). EVE is, to say the least, Apple’s sensibility. Her egg-shaped body is round and sleek. She doesn’t have any visible button. Her arms are locked without joints on her side. Light indicator radiates from behind her casing. Her white surface resembles the white shine of Macbook’s plastic cover.