Minggu, 27 Juni 2010

Enambelas Besar Yang Wajar Wajar Saja

Permisi dan maaf sebelumnya, ini bukan cerita tentang jalan-jalan keliling dunia, tapi ini cerita dari tahun ke tahun, tentang sepak bola.
George weah
George weah
Ini cerita tentang seorang sahabat saya yang menularkan kepada saya, kegemaran menonton siaran langsung pertandingan sepakbola di TV. Sebelumnya, saya sama sekali  tidak tertarik dengan olahraga tersebut. Teman laki-laki di sekeliling saya selalu menggilai sepakbola. Namun, tak satu pun dari mereka membuat saya tertarik pada olahraga yang dulu bagi saya sangat aneh itu.
Bayangkan saja sebuah bola kecil diperebutkan oleh 22 orang. Dua puluh dua orang. Bagi saya itu sangat laki-laki. Sejak kecil saya sering menganggap laki-laki itu aneh. Misalnya, mereka suka mengintip orang pacaran di taman atau tempat-tempat sepi. Waktu saya tanya apa yang dilakukan orang pacaran itu, mereka menjawab, “Ya nggak ngapa-ngapain, sih. Cuma ngobrol aja sambil pegangan tangan dan duduk berdempetan.”
….
Jadi buat apa diintip? Pikir saya.
Sang Sahabat ini dulu saya kenal sebagai seorang pelukis dan disainer grafis di sebuah majalah ekonomi. Tahun 1999 kami berkenalan dan sering menghabiskan waktu bersama karena cocok membicarakan banyak hal. Sering kali waktu kami habiskan untuk berbincang, dan hampir tiap kali itu harus diselang dengan aktifitasnya menonton siaran langsung Liga Italia di televisi. Saya bilang pada dia kalau saya tidak suka, karena sepak bola milik laki-laki. Tapi, dasar sahabat saya ini pandai berkata-kata, dia berhasil membuat saya sedikit melirik pertandingan yang ada. Dia bilang sepak bola bukannya sangat laki-laki melainkan sangat humanis. Di sana ada emosi, ada kesalahan-kesalahan, ada drama, dan yang pasti di sana ada seni. Hmm.. menarik juga.
(Sampai beberapa tahun ke depan setelah itu saya terus menikmati dongeng indahnya tentang sepak bola).
Di tahun itu dia menggemari klub AC Milan. Bintang-bintangnya antara lain Paolo Maldini, Clarence Seedorf (Belanda) dan Andriy Shevchenko (Ukraina). Menurutnya, klub ini memiliki tradisi ‘menyerang’ yang istimewa, warisan trio gemilang asal Belanda yang pernah menyukseskan AC Milan hingga mendapat julukan The Dream Team, Marco Van Basten, Ruud Gullit dan  Frank Rijkaard. Bagian cerita yang itu membawa saya pada kenangan masa SMP, di mana saya sering dijuluki Ruud Gullit karena ibu selalu mengepang kecil-kecil rambut saya sebelum berangkat sekolah. Pernah juga suatu hari beberapa guru laki-laki di SMP saya tidak mengajar karena menonton pertandingan final AC milan di Liga Itali.
Tiga Serangkai AC Milan
Tiga Serangkai AC Milan asal Belanda

Namun, tahun 1999 rupanya hanya merupakan tahun sisa-sisa kejayaan bagi AC Milan sebagai The Dream Team, karena yang sedang naik daun justru klub Juventus dengan Alessandro Del Piero dan Edgar Davids (Belanda) sebagai bintangnya. Selain Juve, ada lagi klub andalan Liga Itali, yaitu Lazio, yang menaikkan nama pelatih asal Swedia, Sven Goran Eriksson. Lazio yang dulunya dianggap sebagai klub Underdog tiba-tiba menjadi juara liga tahun 2000 dan Eriksson langsung ditarik menjadi pelatih TIMNAS Inggris.
Sven
Sven Goran Eriksson, pelatih Lazio yang membawa Lazio menjuarai liga tahun 2000
Squad Lazio 1999-2000
Squad Lazio 1999-2000
Tahun-tahun berikutnya, karir seniman sahabat saya ini menanjak, membuat dia sering bepergian ke luar negeri untuk berpameran atau pun mengikuti acara pertemuan seniman dunia.
Anehnya, ke mana pun dia pergi, sepertinya perhelatan besar sepak bola selalu mengikutinya. Sampai-sampai saya sering mengira, jangan-jangan dia ke luar negeri sebenarnya untuk event tersebut. Alangkah beruntungnya.
Di tahun 2000 dia pergi ke Amsterdam. Bertepatan dengan itu Belanda sedang menjadi tuan rumah Piala Eropa. Namun tak satu pun pertandingan bisa dia tonton karena selain harga tiket tidak terjangkau, sahabat saya ini harus mengikuti rapat berhari-hari dengan sesama seniman. Ada hal unik yang dia lihat di sana. Suatu hari dia berjalan di Kota Amsterdam, dia lihat banyak panggung didirikan. Seluruh kota dihiasi warna oranye, karena tim oranye (julukan TIMNAS Belanda) berhasil lolos ke babak semifinal dan siap bertanding malam itu. Masyarakat siap berpesta karena sebagai negara dengan tradisi bola yang kuat, mereka yakin pasti mereka akan melaju sampai ke babak final. Ternyata Belanda dikalahkan Italia dalam adu penalti. Amsterdam padam. Kota menjadi murung dan teman saya jadi geli sendiri.
Saat itu saya sudah mulai ketularan dia, menyaksikan partai-partai yang saya anggap seru berlaga dari siaran langsung TV di Jakarta. Saat itulah saya mulai mengenali permainan Zidane dan menyukainya. Saat sahabat saya kembali ke Jakarta, dengan seru saya membagi pengalaman nonton saya, dan mengatakan rasanya ada yang hilang tidak menonton event besar itu bersama dia. Dia tertawa melihat saya yang semula antipati jadi bersemangat.
Zinedine Zidan
Zinedine Zidan
Sahabat saya kemudian makin sering bepergian, dan seperti yang saya bilang, aneh bin ajaib, perhelatan bola terus menguntitnya. Suatu ketika, Mali sedang menjadi tuan rumah Piala Afrika saat dia mendapat undangan pameran di sana. Bintang Afrika saat itu adalah George Weah asal Liberia yang  juga pemain AC Milan dan pernah dinobatkan sebagai pemain terbaik pada tahun 1995 versi FIFA, dan merupakan orang Afrika pertama yang mendapatkan gelar tersebut. Bahkan dia mendapat penghargaan pemain terbaik Eropa. Di Afrika sendiri dia mendapat penghargaan sebagai pemain terbaik Afrika sepanjang masa.
Tahun 2002 dia ke Korea Selatan. Negara tersebut bersama Jepang sedang mempersiapkan pembukaan Piala Dunia. Sahabat saya bercerita kalau di Korea Selatan dan Jepang, sepak bola bukan olahraga favorit. Olah raga nomor satu di sana adalah golf dan baseball. Namun dia melihat seluruh masyarakat Kota Guangju antusias menyambut perhelatan akbar tersebut.  Secara sosial-politik, lobi ke dua negara itu sebagai tuan rumah Piala Dunia bukan untuk prestasi melainkan membangun tradisi bola di negara mereka.
Dan seperti yang kita ketahui, sejak itu prestasi ke dua negara ini di bidang sepak bola terus meningkat hingga kini. 2002, mereka menarik pelatih asal Belanda, Gus Hiddink yang berhasil membawa Korea masuk sampai babak perempat final. Hal itu membuat Gus Hiddink mendapatkan tempat sebagai warga negara istimewa di Korea. Saya, semakin ketularan dan menyaksikan perhelatan tersebut di Biak Papua, saat sedang membuat sebuah dokumenter di sana. Saya menyaksikan masyarakat Kota Biak sangat menggandrungi siaran Piala Dunia. Di jam-jam siaran langsung, Kota Biak yang kecil itu sepi sekali karena semua orang menonton siaran langsung menggunakan antena parabola. Dan yang anehnya, saat itu hampir semua orang yang saya temui di sana sangat tergila-gila dengan TIMNAS Turki dan bintangnya Hakan Sukur.
Sepulang dari Korea sahabat saya ini melamar saya dan kami pun menikah di tahun yang sama. Dan event sepak bola jadi ikut menguntit perjalanan saya jika saya bepergian dengan suami saya. Kami tidak bisa tidur sampai pagi oleh suara petasan sepanjang malam saat kesebelasan Galatasaray memenangkan ‘The Turkish Derby’ dalam ajang ‘Turkcell Super Lig’ melawan Fenerbahce pada 2005 di Istanbul, saat kami sedang mengikuti sebuah pameran di sana. Kedua tim ini memang dikenal memiliki supporter yang rusuh dan saling bentrok.
Galtasaray
Galtasaray
Fenerbahce 2005
Fenerbahce 2005
Satu hal yang membuat saya kesal setelah kami hidup bersama adalah, kadang sahabat, eh…suami saya ini tidak mau menonton siaran langsung yang ditayangkan larut malam menjelang dini hari. Dan belakangan saya baru tersadar ternyata dia bukan penggila sepak bola. Dia bisa bercerita sama fasihnya tentang Valentino Rossi atau Roger Federer, seperti dia bercerita sepak bola. Ternyata, memang saja dia selalu update terhadap informasi.
Namun, virus sepak bola yang dia tularkan kepada saya terus merambat perlahan di badan saya. Kalau dulu saya hanya bisa menikmati tontonan itu jika ada teman yang bisa diajak berbagi, kini saya bisa sangat menikmati menonton siaran langsung Barcelona sendirian saat dini hari.
Maka, malam ini, setengah jam sebelum pertandingan pertama putaran enambelas besar ditayangkan di TV, saya wawancara suami saya, tepatnya saya paksa dia untuk memberikan ulasan serta prediksi tentang Piala Dunia 2010 kali ini, yang menurut saya agak berbeda. Selain ada 5 TIMNAS negara Eropa maju yang mana selalu menjadi unggulan, di babak ini ada 1 negara dari Eropa Timur, 6 negara Latin, 2 Asia, 1 Afrika, selain ke-5 negara Eropa Barat tadi, negara-negara tersebut adalah negara berkembang. Dan sisanya adalah Amerika Serikat, sebuah negara yang lebih mem-favoritkan olahraga baseball, rugby dan basket.
Kurang lebih begini ulasannya :
Siapa pun yang lolos ke Piala Dunia biasanya negara yang memiliki sistim pembinaan yang baik. Selain itu juga memiliki sistim negara (dalam hal ini sosial-politik) yang baik, dan yang pasti sistim ekonomi yang baik. Kamerun pernah mengejutkan dunia karena sebagai negara berkembang dan bisa dibilang miskin masuk ke penyisihan Piala Dunia 1994, menunjukkan bahwa bola itu tidak hanya sekedar persoalan sistim, tapi juga ada bakat-bakat yang harus dilihat di situ. Jadi, susunan 16 besar kali ini sebenarnya wajar saja.
Terlihat agak luar biasa karena beberapa nama yang ada di sana sudah lama tidak terdengar. Padahal mereka semua memang negara yang layak. Misalnya saja Ghana, walau dari benua miskin namun pertumbuhan ekonominya bisa dibilang sedikit lebih maju dari negara Afrika lainnya. Amerika Serikat, sistim yang yang baik membuat negara ini mudah untuk membangun tradisi baru di persepak-bolaan, seperti juga yang terjadi di Korea Selatan dan Jepang sejak 2002. Menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994 merupakan lobi Amerika Serikat dalam membangun tradisi tersebut. (ini juga dilakukan Afrika Selatan yang berhasil menjadi tuan rumah 2010, karena sebenarnya tradisi sepak bola Afsel tidak seperti negara Afrika lainnya. Sebagai negara Common Wealth Inggris, olahraga terdepan mereka adalah kriket).

Sedangkan negara-negara Latin, yah semua orang tahu kalau mereka memang hebat dalam sepak bola. Dan hampir dari semua negara Latin yang masuk perenambelas final ini pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia dan pernah menjadi juara dunia. Dimulai dengan Uruguay sebagai tuan rumah Piala dunia pertama dan bahkan menjadi ‘juara dunia pertama’ di tahun 1930 diikuti dengan Brazil yang menjadi tuan rumah piala dunia tahun 1950 dan gelar juara dunia diraih oleh Uruguay lagi. Chili menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962 dan Brazil sebagai pemenangnya. Meksiko menjadi tuan rumah Piala Dunia tahun 1970 dengan Brazil kembali ke luar sebagai pemenangnya kemudian di 1986 dengan Argentina sebagai juara dan mencuatkan nama Diego Maradona. 1978 Argentina menjadi tuan rumah sekaligus juara Piala Dunia.
Diego Maradona
Diego Maradona
Sedangkan Slovakia, dulunya Chekoslovakia kemudian sejak 1 Januari 1993 terpecah menjadi republik Cheko dan Republik Slovakia. Chekoslovakia pernah menjadi negara bola yang hebat di kawasan Eropa timur, di samping Yugoslavia, Rusia dan Bulgaria.
Jadi bisa dibilang mereka semua pasti memiliki liga lokal yang hidup. Itu pastinya yang membangun kultur bola di negara masing-masing. (Akankah Indonesia?) Maka, Saudara-saudara, ini akan menjadi tontonan yang lebih menarik, lively dan semoga menyemangati persepakbolaan kita.

Tim Nasional Indonesia pernah masuk Piala Dunia 1938 di Perancis, dengan nama Dutch East Indies
Tim Nasional Indonesia pernah masuk Piala Dunia 1938 di Perancis, dengan nama Dutch East Indies
Adapun prediksi dari hasil wawancara malam ini adalah :
Babak perenambelas final akan melajukan Korea Selatan, Ghana, Jerman, Belanda, Brasilia, Jepang dan Spanyol ke babak perdelapan final. Berikutnya di perempat final akan ada Ghana, Jerman, Belanda dan Spanyol, yang kemudian akan melajukan Belanda dan Jerman sebai finalis.
Prediksi suami saya ini saya anggap terlalu-sangat-sangat subjektif, dari dia yang berharap mendapatkan tontonan balas dendam Belanda terhadap Jerman atas kekalahannya di tahun 1974. Saat itu Johan Cruyff membawa Belanda menjadi pemenang Piala Eropa 1972. Namun, secara mengejutkan tim Cruyff dilumpuhkan oleh Franz Beckenbauer dan kawan-kawan (yang tidak diunggulkan) pada Piala Dunia 1974.
frans
Frans Beckenbauer saat muda (kiri) dan tua (kanan)

Johan Cruyff
Johan Cruyff saat muda (kiri) dan tua (kanan)
Apa yang saya maksud dengan terlalu subjektif terbukti. Saat saya baru memulai tulisan ini, Korea Selatan berhasil dikalahkan oleh Uruguay dengan skor 3-2. Dan saat tulisan ini mendekati akhir, Ghana berhasil mengalahkan Amerika Serikat dengan skor 2-1 (untuk yang ini prediksi suami saya tepat). Artinya, Uruguay lah yang akan berhadapan dengan Ghana di babak perempat final 2 Juli nanti di Nelson Mandela Bay Stadium, Port Elizabeth.
Dan jika saja Uruguay dan Belanda yang menjadi tim unggulan suami saya terus melaju, maka mereka akan bertemu di babak semifinal. Pada piala dunia 1974 di Jerman Barat, Belanda pernah mengalahkan Uruguay, hingga sang pelopor juara dunia ini harus terjungkal di babak penyisihan.
Siapa yang tahu, karena bola tidak persegi. Kemungkinan yang benda itu hasilkan tidak bisa diprediksi secara matematis, Saudara! Lihatlah Perancis dan Italia, dua tim unggulan yang angkat koper di babak penyisihan.

Jumat, 14 Mei 2010

Di Lenteng Agung, Kami Berbagi Sebuah Kisah Tentang Peristiwa 12 Tahun Silam

Oleh Otty Widasari | Pada Jumat, 14 Mei 2010
* * * 
Ada  di mana saja ya teman-teman Forumlenteng di saat hari-hari menjelang Reformasi duabelas tahun silam?
Sejauhmana Reformasi itu telah mencapai tujuannya selama ini menurut pandangan mereka?
Saya coba menanyai mereka satu persatu…

Demo mahasiswa pada Mei 1998
Demo mahasiswa pada Mei 1998


Ada di mana kamu pada tanggal-tanggal segini, 12 tahun yang lalu?

Jaka, saat itu berusia 19 tahun:

Di Lenteng Agung, dan berstatus pengangguran. Sedang nongkrong di pinggir jalan dekat Kampus IISIP, Jakarta. Gue menyaksikan mahasiswa sedang demo. Dan yang lebih menarik bagi gue saat itu melebihi peristiwa demonstrasinya sendiri adalah peristiwa perkelahian antar sesama mahasiswa yang sedang berdemo.

Diki, saat itu 17 tahun:
Di Depok, gue tanggal-tanggal segini nggak sekolah, nggak boleh sekolah oleh bokap, karena bokap takut rusuh. Kemudian nenek gue menelpon. Pake seragam abu-abu, gue disuruh nyari om gue yang kuliah di Gunadarma oleh nenek gue. Gue muter-muter, gila! Rame banget. Sampai gue puterin Kampus G dan H di Kelapa Dua.
Yang nenek gue khawatir banget, Sebetulnya om gue ini ga hobi gituan. Demo-demo. Tapi mungkin karena nenek gue nonton TV tentang demo mahasiswa, hari-hari menjelang hari H (Suharto lengser-red), om gue jadi sering pulang malam. Ya, asumsi nenek gue, dia ikut demo-lah. Dia kan anaknya kalem banget, ga ribet-ribet, pokoknya ga mau ngomong yang keras-keras. Tiba-tiba ada begituan, gue juga berpikir, agak aneh, nih.
Sekarang dia kerja di Astra Internasional, bagian kredit mobil ACC. Sudah punya anak satu. Kalau lihat gue dia merasa…. ada hal yang ga bisa dia raih dulu. Dia cemburu. Yah… karena gue ngejar apa yang gue pengen.
Gue ngeliat peristiwa massa, demonstrasi, waktu itu sih, keren benget, seperti gue saat tawuran sama anak STM. Mereka rame-rame, kompak. Dan saat rame-rame itulah mereka jadi berani.


Fuad, saat itu 16 tahun (Seniman Video):
Di Rangkasbitung, aman tenteram. Hal yang paling terasa hanya harga bahan pokok naik tinggi dan harus mencari alternatif makanan, seperti memperbanyak sayuran. Peristiwa kerusuhan hanya sekedar sebuah acara di televisi, seperti acara lainnya. Gue cuma fokus sama sekolah.

Hafiz, saat itu 27 tahun:
Di Cikini. Saat itu aku nganggur, akibat krismon, miskin banget. Di kantong mungkin cuma ada 3 ribu perak. Itu juga sisa dikasih Dolo (Dolorosa Sinaga, dosen Hafiz semasa kuliah-red) beberapa minggu sebelumnya. Aku hidup dari tanggungan orang, sebelum kemudian ada yang ngajak kerja di Majalah Indikator.
Aku lihat penjarahan di Pasar Cikini, lihat orang-orang membongkar pertokoan di Pasar Cikini. Trus aku jalan sama Wisnu (teman sekampus dulu) ke Kota. Lihat orang pada bakar-bakaran. Jakarta waktu itu sepi. Sempet jalan juga ke tempat lain seperti Slipi. Di jalanan hampir nggak ada kendaraan sama sekali. Rasanya mencekam banget. Saat Soeharto lengser aku ada di dalem Gedung DPR, di depan TV Setelah Soeharto mengungumumkan lengser kita semua keluar gedung, teriak-teriak. Ada yang nyebur ke kolam di halaman DPR. Aku nggak ikut nyebur. Trus kita pada naik ke kubah gedung DPR. Ada yang kencing di atas sana. Yang paling mengesankan adalah pengalaman duduk-duduk di atas kubah itu. Itu pengalaman visual dan tubuh yang tak terlupakan. 

Massa menduduki Gedung DPR
Massa menduduki kubah Gedung DPR

Acong, saat itu 15 tahun:
Di Bekasi, gue SMP kelas tiga, waktu itu kan habis EBTANAS, trus gue ngumpul di rumah teman gue yang anak guru, teman-teman geng lah. Kebetulan dari rumah teman gue ke pusat Kota Bekasi ga jauh. Itu kita baru dapat informasi bahwa di pusat kota lagi ada kerusuhan. Jalanlah kita ke pusat kota. Kira-kira 200 meter tuh baru jalan, ada tukang becak dari arah berlawanan bawa baju banyak, dia teriak, ”De, mau baju, ga? Nih, ambiil…” kira-kira ada 10 potong baju dia lempar waktu itu.
Sampai di pusat kota, gue ngeliat, Wuih, ini kok orang pada ngambil-ngambil, masuk ke toko? Apakah gue bisa? Karena berhubung waktu itu…yah, apa, ya? Karena masuk-masuk ke aksi massa kan, ya? Udahlah gue ikut nimbrung ke situ. Karena toko yang terdekat waktu itu adalah toko peralatan bulutangkis, ya udah yang kepikiran untuk gue ambil itu… ngambil raket. Mereknya Carbonex. Kenapa ngambil raket? Yah, karena teman gue ngambil sepatu, kanan semua… udah ga mungkin, udah berantakan semua tokonya itu. Nah, gue ngambil yang gampang, ga perlu sepasang, kan? Ya udah, ngambilnya raket. Dari situ gue liat, wah, ini udah mulai chaos (kacau). Ga lama teman gue yang anak guru itu ditelponlah sama orangtuanya. Jaman itu teman gue udah pake hape. Akhirnya, ga lama kita semua pulang ke rumah teman gue itu. Baru kita nonton TV, lihat, oo…ada peristiwa.
Saat itu gue ga kepikir apa-apa. Pokoknya ada aksi massa yang rusuh. Gue ga ngerti itu apa. Karena yang gue liat, mereka sebagian marah-marah ga jelas gitu. Tau-tau datang  ke pertokoan, nimpukin. Juga Bank BCA, apa-apanya diambilin. Gue juga baru sadar, dan yang paling jelas ya itu, jadi ada satu karyawan BCA di atas, dia udah minta tolong, tapi sama massa malah dikunci pintu bawahnya, trus ditimpukin kaca atasnya dari bawah, ga tau gimana tuh kondisi akhirnya, karena di bawah situ dibakar. Padahal dia udah nunjukin tangan begini,  jangan…jangan…
Gue baru sadar semuanya pas Soeharto lengser. Setahu gue, ya udah, presiden turun. Gue lihat, apa, ya? Karena gue belum ngerti, belum kenal juga istilah korupsi, ya, gue cuma berpikir ini hanya orang-orang yang dendam aja.
Orang tua gue cuma telpon, ”Ya udah nginep aja di situ, jangan pulang.” Karena pulang juga udah ga mungkin. Ga ada angkot, ga ada apa-apa. Ya udah gue nginep di rumah temen gue. Mungkin gue mulai sadar politik ya SMA-lah, karena gue udah mulai ikut Pemilu.

Massa berbondong-bondong menjarah pertokoan milik warga Tionghoa
Massa berbondong-bondong menjarah pertokoan milik warga Tionghoa

Abe, saat itu 16 tahun:
Di Pamulang, saat itu gue baru pulang kalah tawuran melawan anak SMA lain. Trus gue liat gedung Ramayana ramai banget. Banyak orang pada manjatin tembok gedung itu. Gue ga ngerti ada apa. Gue pikir itu juga orang-orang yang sedang tawuran. Ga taunya itu peristiwa penjarahan. Gue cuma menyaksikan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Gelar, saat itu 11 tahun:
Di Karawaci. Waktu itu kan sore ya, eh pagi… rumah gue masih dekat sama kampung, belum ada sekat beton antara kompleks rumah gue dengan perkampungan, masih pohon-pohon bambu. Di depan situlah ada Lippo Karawaci Supermall, baru kira-kira setahun berdiri. Temen-temen gue kebanyakan orang situ, pada main bola. Gue keluar, disamper temen gue, “Ke Lippo, yuk, ngejarah!” Gue kebagian nunggu di depan Islamic (RS Islamic Center), jadi gue kebagian naroh-naroh aja ke becak. Gue sempat ikut ke dalam, di situ ada konter jam, pecahin kacanya, serok, masukin ke baskom. Teman gue begonya, kan kaca ya, tangannya berdarah. Gue mainnya sama anak yang udah SMA. Teman-teman gue di rumah jarang yang seangkatan gue. Paling satu-dua orang. Gue dapet sepatu bola. Yah, sepatu bola itu sempat gue pake, sih. Sepatu kanan dan sepatu kiri gue beda-beda. Pas tujuhbelasan ngadu bola, tuh sepatu masih ada. Anak-anak daerah gue sepatunya belang-belang semua. Ketahuan itu bekas ngejarah. Tragedi 1998 itu.
Tetangga-tetangga gue ada yang bawa kulkas, ada yang bawa magic jar. Barang paling mahal yang gue dapat jam tangan merek Casio, Baby-G warna putih, dan sempat gue pake sampe SMA. Sudah, gue ga boleh keluar sehabis itu oleh emak gue. Sore, gue pulang, besoknya gue ga boleh main. Dia nanya,”Dari mana ini?” Gue jawab, “Dikasih,”. Namanya Kodir, temen gue. Kodir murid emak gue . “Dikasih, nih, sama murid Mama. Dia dari Lippo, ngejarah.”
Tukang becak, tukang ojek, pada kacau. Orang Cina pada digebukin. Ada temen gue, namanya Harun. Dari Kalimantan, orang Cina Pontianak. Dia punya toko yang ditimpukin. Seminggu kemudian dia nggak ada di sekolah. Gue ga tau kabar dia sampai sekarang. Taunya toko dia dicoret-coret, ancur barangnya. Semenjak itu dia ga ada kabarnya, ga ada yang tau dia di mana, sampe hari ini. Katanya, kakaknya, cewek, kakak kelas gue, diperkosa.

Andang, saat itu 15 tahun:
Di Pasar Minggu. Baru terima kartu kuning, tanda lulus EBTANAS. Gue sedang main basket di belakang rumah gue. Rumah gue dekat terminal Pasar Minggu. Ada Robinson, Ramayana. Nah, kompleks rumah gue dekat situ. Pertama gue lihat asap. Baru kita ke sana, (Ramayana), orang-orang udah pada kelar. Bawa-bawa kasur, kulkas. Gue ga ikutan, gue cuma ngeliat aja. Gue pengen. Tapi, yah, enggak aja. Yang gue rasain, gue ga takut, cuma merasa ini aneh. Tapi datar aja. Teman-teman satu komplek juga ga pada ikutan. Gue anak baik-baik kali, ya? Anehnya, teman-teman sepermainan gue itu pun tidak ada yang menjarah. Jadi memang lingkungan gue ga membawa gue untuk bandel. Padahal kita hidup di dekat pasar.
Gue ga pernah terlalu nonton TV. Yang kerusuhannya itu, gue ga tau itu apa. Tapi yang gue tau waktu itu memang saatnya Presiden Soeharto lagi didemo. Baru setelah itu orang-orang pada rame. Semua orang pada bangun dan jagain kompleks, takut dijarah juga. Pos satpam jadi rame. Pada akhirnya gue merelasikan, dalam artian, ini pasti ada hubungannya, nih, antara Soeharto lagi ngomong (di TV-red), setelah omongan itu orang pada bersorak semua. Mungkin sebelum Soeharto lengser itu masyarakat masih pada sebel, tapi gue ga tau apa hubungannya orang pada ngejarah. Tapi kalau demonya di Istana (DPR) gue masih bisa ngerelasiin. Kesadaran politik sudah ada sedikit saat itu. Tapi gue cuma mikirin masuk SMA aja. Setelah kuliah baru gue mulai ngertilah.


Hmm…ada kerusuhan, ada banyak korban, pasti ada cerita seram…

Gelar, sekarang 24 tahun (Seniman Video):
Dulu di daerah gue sempet ada cerita serem. Anak-anak pada takut semua kalau lewat di jalan yang itu.
Setelah kerusuhan, orang Lippo Supermall Karawaci (Pihak pengelola), ngumumin, orang yang bisa ngangkut mayat dibayar 100 ribu per mayat. Karena mayatnya banyak banget di dalem. Gue ikut. Gue sempet masuk sama temen-temen gue. Itu udah seminggu setelah kejadian. Mall tertutup semua abis dan bau bangkai. Satu Lippo Karawaci bau bangkai. Nah, kan ada petugas yang pada ngebukain pintu. Pintu dibuka semua akhirnya, nah, orang-orang dibayar kalau bisa ngeluarin mayat, seratus ribu per kepala. Teman-teman gue ikut. Gue di luar, gue ga berani. Karena udah bau banget. Gue lihat, Ditarik-tarik gitu. Udah gosong semua, dimasukin ke mobil pick up. Gue liat semua, karena Lippo Karawaci deket banget sama rumah gue. Seluas dalam mall itu mayat semua. Item gosong dan bau. Ada beberapa yang pas ditarik tangannya copot. Parah!
Sejak itu ada cerita tentang ‘Seli’ alias Setan Lippo. Jadi ada tetangga gue ceritanya lagi pulang kerja. Mas Dabung namanya. Kalau pulang kerja dia lewat situ. Masih bau bangkai, udah lebih dari sebulan. Itu Lippo kan baru dibuka lagi setahun kemudian.

Dia naik motor. Bau bangkai…bau sangit. Malem. Di terowongan, Mas Dabung naik motor. Tiba-tiba di sebelahnya ada motor lain. Mas Dabung ga noleh. Jalan terus. Trus, orang yang di motor sebelah, ngomong, “Masih bau ya, Mas?”
Mas Dabung nyahut, “Iya nih masih bau. Padahal udah lama, ya.” Dia trus jalan. “Mau ke mana?” , “Mau pulang.” , “Baunya kaya gimana sih, Mas?” tanya si pengendara asing lagi.
Mas Dabung jawab, “Ya bau gitu deh…gosong-gosong bau mayat gitu. Sangit!”
“Kayak saya nggak baunya?” Si orang tadi nanya.
Waktu Mas Dabung noleh, mukanya orang itu ga ada, ga keliatan. Langsung ngebut, ngeeeeeeeeng…pulang. Sampe di rumah, emaknya dia lagi ngobrol sama emak gue di bale-bale, malem. Mas Dabung langsung banting motor, lari ke emakya melukin sambil nangis.
Sampe sekarang ceritanya masih ada. Seli…Setan Lippo.

Ada Perubahan nggak, yang kamu rasakan setelah Reformasi?


Diki, sekarang 29 tahun (Periset Video):
“Perubahan setelah Reformasi yang gue rasain, ada di pola berpikir dan pemahaman orang-orang. Contohnya di rumah gue, nenek gue melarang keras, gue ga boleh sekalipun ngomong ‘komunis’.  Sekitar tahun 1995 gue nonton filem G30S/PKI di TV, di rumah nenek. Gue lupa gue ngomong apa, pokoknya gue menyinggung sesuatu tentang ‘komunis’. Tiba-tiba nenek gue membentak gue, “Jangan pernah ngomong itu di sini, di rumah gue!” Tapi sekarang ini, dia sudah bisa ngobrol, mendongeng dan bercerita tentang kisah migrasi dia dari Kalimantan ke Surabaya, lalu naik kereta ekonomi ke Jakarta di tahun ’65. Dia dan kakek gue membawa bokap gue dan mengandung adik bokap gue, bagaimana lebih menyeramkan saat itu situasinya. Cerita itu gue dapat setelah Reformasi. Kondisi tahun ‘65 itu serem banget dan dia melihatnya secara kasat mata. Tahun 98 dia tidak merasa seseram itu, tapi suasana di TV yang justru membuat dia shock. Makanya dia bilang, ”Lo cari om-lo sekarang juga, pokoknya sampai ketemu!”
“Juga dia senang-senang aja menonton video yang gue buat di Tampere, dan gue cerita di sana gue masuk ke Museum Lenin.”



Acong, sekarang 27 tahun (Wartawan Foto):
Perubahan yang paling jelas, apa, ya? Orang lebih berani aja sekarang. Karena waktu itu kan semuanya pukul ratalah. Semuanya adem ayem dan stabil. Sebelumnya kan peran media hanya satu, yang lainya masih terbatas, dan masih kucing-kucingan waktu itu. Ah… ya yang paling gue inget ya itu. Gue kehilagan acara itu, bukan kehilangan sih, dalam satu sisi gue lega. Karena biasanya ketika gue nonton filem kepotong oleh itu, bete banget. Satu jam setiap hari… O ya, acara Laporan Khusus. Setelah Reformasi itu ga ada kan?

Hafiz, sekarang 39 tahun (Kurator Seni Rupa):
Sebenarnya kan perubahan itu harusnya sistematik. Kalau dibilang gagal juga tidak gagal. Ada perubahanlah. Seperti kebebasan pers, multi partai, seperti yang diidam-idamkan oleh Reformasi, kan? Paling minimal sudah ada perubahan dalam bidang kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berpolitik, pemilu langsung.
Semua perubahan di belahan dunia, di mana pun, Revolusi Mei, Revolusi Bolshevik, revolusi apapun lah, ada semacam gerakan para intelektual jugalah yang melakukan pencatatan, melakukan statement-statement politik, statement yang menyentuh wilayah filosofis yang dibahas sangat komprehensif. Dan itu menjadi bagian dari sejarah kebudayaan, sejarah pemikiran. Sekarang, kan reformasi yang aku tahu ga pernah ada semacam telaah akademisnya yang komprehensif tentang hal itu. Karena memang pada jaman itu para intelektualya pada sibuk jadi selebriti. Pada sibuk turun ke jalan tapi nggak melakukan atau men-set up-nya menjadi  sebuah peristiwa yang bisa kita baca sebagai sebuah ide pemikiran di balik reformasi. Aku juga tidak bilang yakin sepenuhnya akan hal itu, tapi kan sampai sekarang ide pemikiran tentang reformasi masih sangat ngambang, sangat abu-abu. Kalau kita misalnya melihat peristiwa Mei Merah, kita bisa merunut tulisan-tulisannya Sartre, Foucault.
Revolusi Bolshevik, Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, di Asia ada Revolusi Kebudayaan di Cina, yang dilakukan Mao Zedong, itu memag ter-set up, terkonsep, walaupun membunuh ribuan orang juga. Membunuh para intelektual juga. 



Jaka, sekarang 31 tahun (Penulis Lepas):
Reformasi itu hanya sebatas seremonial aja. Ga banyak yang berubah menurut gue. memang mungkin kelihatannya sekarang kita lebih bebas bicara. Tapi pada prinsipnya kita masih terkekang. Kalau dibilang kita sudah mendapatkan kebebasan pers dan dalam berekspresi, sebenarnya itu hanya bersifat semu. Misalnya kita pikir kita bisa bebas bergerak di dunia internet yang sepertinya tanpa batas, tapi pengawasan terhadap hal itu ternyata malah menguat.
Rakyat ga bisa bener-bener menekan pemerintah dengan apa yang diinginkan oleh rakyat. Contoh yang paling gampang, kita ga punya lagi keunikan, kita ngomong apa yang sudah diomongin semua orang di facebook. 
Misalnya sekarang kita punya masalah kasus Bank Century, ramai diberitakan, tapi ketika ketika ada isu-isu lain, yang tidak esensial juga menurut gue, akhirnya kasus itu terbengkalai. Jadi tujuan utamanya sudah terlupakan.
Kita tahu, pihak lain tahu, semua tahu kalau Century ada hubungannya dengan Pemilu dan RI 1 sekarang. Kalau itu diungkap, semuanya akan  hancur, apa yang dibangun oleh pemerintahan yang sekarang, yang berkuasa itu, akan hancur. Akhirnya untuk mengatasinya, semua dibelok-belokkan.
Gue ga percaya kalau perubahan itu harus dilakukan dengan sistemik.

Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI
Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI

Lalu, perubahan yang dirasakan oleh anak yang bapaknya PNS bagaimana, ya?

Gelar:
Dulu kan waktu jaman Soeharto, kalau kampanye bapak gue kebagian jatah nyablon kaos Golkar. Itu mulai dari flyer, kaos, sampai jaket, semua bapak gue. Sekarang udah kagak.  Cukup makmur kalau ada event doang. Bokap sampe sekarang pun tetap Golkar. Sekarang sudah ga dapat job itu lagi, mungkin karena udah naik pangkat kali ye. Jadi ga ada hubungannya dengan Reformasi. Tapi sekarang, kalau lihat acara di TV gitu dia jadi lebih tertutup dalam bicara politik. Misalnya nyokap gue bilang, “Oh, ini SBY aja, nih…” bokap gue ga komentar. Kalau dulu, bapak gue kenceng banget kuningnya. Kelihatan, kuning, kuning, Golkar, Golkar… kalau sekarang adem, ga mau ikut-ikutan atau gimana. Tapi gue tau dia tetep Golkar. Mungkin bukan Soehartonya, tapi ‘beringin’nya.
Tertutup bukan bener-bener tertutup. Maksudnya itu lebih buat dirinya sendiri aja. Mungkin dia protect kalau untuk keluar. Dia ga mau nunjukin kalau dia kuning. Kalau sekarang lebih kalem. Kalau untuk masalah-masalah pemerintahan yang sekarang, dia komentar, kritik, tetep.
Gue selalu suka bokap gue sebelum dan sesudah Reformasi. Tapi kalau situasi rumah, gue lebih suka setelah Reformasi. Karena dia lebih bebas jam kerjanya. Ga seperti kemarin yang kasarnya seperti buruh pabrik. 


Abe, sekarang 28 tahun (Fotografer):
Sebelum Reformasi, dalam politik, ya kayak Gelar bilang, bokap gue pasti kuning. Tapi setelah ‘98 itu sampai akhirnya dia sempat non-job, sekitar tiga tahun setelah reformasi. Dia tetap PNS, dikeluarin dari BKN. Sebenarnya, sih, atasannya bilang, oke namanya masuk. Tapi sampai hari ‘H’ nya, nama dia ga ada. Makanya sekarang dia pindah di DKP. Tapi dalam bicara politik, beda sama Gelar, sekarang dia terbuka banget. Bahkan dia bisa lebih… borok-boroknya ring 1, RI 1 yang sekarang. Seperti waktu itu gue sempat dikasih naskah pidato sebelum itu dikasih ke Presiden. Ke keluarga dia lebih ngomong bebas, dia ngasih sesuatu yang media ga bisa liput, tapi sebenarnya sistim di pemerintahan di Negara Indonesia itu begini, lho. Tapi di media tidak semuanya ter-cover. Dan sekarang kalau dibilang kuning yah, mungkin udah enggak. Bahkan pas mau Pemilu kemarin dia yang gembar-gembor banget untuk pindah dari kuning ke partai lain.
Contoh, kasus harta karun kemarin di Cirebon. Itu sebelum diekspos ke media, kemarin gue udah dikasih liat 2-3 bulan sebelumnya. Kalau sebelum reformasi, itu ga bisa. Sebelum reformasi bokap lebih tertutup dan lebih hati-hati banget untuk bicara, walaupun cuma ke keluarga. Mungkin karena paranoid-paranoid yang ekstrim banget ketika jaman Soeharto. Mungkin takut dicek ke keluarga, terlebih ke nyokap yang juga PNS. Kan dulu banyak kasus orang hilang.
Gue lebih nyaman dengan bokap gue sesudah Reformasi, karena lebih demokratis. Gue bisa lihat bedanya ketika sebelum Reformasi kita harus straight kuning, apalagi nyokap juga PNS. Gue lihat dia gondok ga bisa memilih. Tapi sekarang bisa kasih arahan, perbandingan (partai-red) ke kita, lebih terbuka, lebih demokratis.

Andang, sekarang 27 tahun (Desainer Visual):

Bokap gue mulai ngomong, ah Golkar tuh gini gini…negatiflah, setelah gue SMA. Level gue dan orag tua gue sudah lebih equal. Setelah reformasi lebih ada keterbukaan di rumah gue untuk teknologi. Di rumah semua serba internet. Sebelum ‘98 internet kan belum ada. Setelah ada internet, ya udah, bokap gue kerjanya di depan komputer doang. Kalau dulu selalu ngurusin kolam, jadi ga pernah gurusin kolam. Tapi untuk taraf kehidupan keluarga, sih setelah ‘98 mulai menanjak. Gaji bokap gue di bawah 2 juta lah. Itu untuk menghidupi 5 kepala. Setelah’ 98 kerjanya makin banyak sampingan sih.
Untuk keterbukaan di rumah, gue lebih nyaman setelah Reformasi. Tapi mungkin ga ada hubungannya sama Reformasi. Mungkin karena gue udah gede. Dan mungkin kalau pun sebelum ‘98 gue bertanya sesuatu pada bokap mungkin dia akan menjawab. Karena sebelum ‘98 gue liat surat bebas PKI. Jadi memang ga punya masalah ketertutupan. Ga ada. Jadi bukan karena reformasi. Mungkin ada, tapi gue ga tau apa.
Dia pernah ngomong, “Ini bapak bisa aja kaya,” mungkin dia ga ngomong saat sebelum ‘98 mungkin karena waktu itu gue masih kecil. Setelah gue kuliah, memang bokap ngomong karena memang administrasi penerimaan mahasiswa baru di tempat dia mengajar, dipegang oleh dia semua. Dan orang bisa aja nitip beberapa puluh juta. Dia menolak hal itu sama sekali. Dan sepertinya di masa sekarang itu lebih banyak terjadi. Karena jaman dulu cuma beberapa keluarga tertentu aja yang mampu membayar berpuluh juta. Dan sekarang lebih banyak orang yang punya uang. Dan bokap gue tidak menerima hal begituan di sebelum dan sesudah reformasi.

Eh, gomong-ngomong, Reformasi itu apa sih?



Acong:
Reformasi itu apa ya? Ya reformasi itu baru bisa dibangun degan kekutan yang besar. Kalau reformasi hanya dipikirkan oleh sekelompok kecil orang-orang saja, itu akan sulit terjadi. Maksudnya hanya segelintir orang yang memperjuangkan. Tapi ketika aksi massa itu sudah mulai membesar, reformasi itu akan lebih mungkin terjadi. Setelah 12 tahun, secara misi mungkin reformasi terjadi. Tapi secara visi ga jelas. Maksudnya, setelah itu tuh orang pada bingung semua mau ngapain akhirnya.
Karena saat itu mungkin terlalu banyak tokoh yang bermunculan, entah itu menggunakan momen saat itu, atau mungkin itu rekayasa dia, yah, empat tokoh yang sangat vokal saat itu. Gusdur, Megawati, Amin Rais, dan Sri Sultan. Ga tau juga, apa itu untuk kepentinganmereka. Mereka itu kan tokoh-tokoh lama, gatau juga. Apa muingkin mereka pernah sakit hati, ya, kan?

Hafiz:
Agenda reformasi itu kan pembasmian korupsi, nepotisme, dan sebagainya. Itu sebenernya yang masih kenceng sampai sekarang. Agenda-agenda reformasi memang masih sulit diwujudkan, karena semua memang kena getahnya dari Soeharto.
Sekarang persoalan yang paling inti adalah ngebongkar kerusuhan Mei. Karena itu tidak pernah terungkap siapa dalangnya, siapa pelakunya. Bayangin, ribuan orang yang mati tapi tidak pernah tau itu siapa dalang dan pelakunya. Pegakuan pemerintah kan ga ada. Pengakuan Negara, bahwa kerusuhan Mei itu ter-set up, itu tidak ada. KOMNAS HAM sudah bikin statement itu adalah pelaggaran Ham berat, di DPR ga dibilang itu sebagai pelanggaran HAM berat.
Kalau mau lihat 12 tahun lalu itu bagaimana, itu harus dibuka lagi sebagai agenda utama, untuk melihat reformasi itu.

Jaka:

Apa yang bisa kita lakukan sebenernya sih bagaimana mengubah diri sendiri untuk jadi lebih baik, lebih aware, dan itu yang susah. Karena mengubah diri sendiri kan bukan dari atas ke bawah tapi, dari pribadi-pribadi itu. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh pribadi-pribadi, bukan dengan kelompok. Apa yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang punya kesadaran politik, ya hanya itu yang bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan akumassa sekarang ini. 


*        *        *  


Dan saya sendiri, saat itu sedang susah payah berusaha menyelesaikan kuliah sementara hati sudah tidak berkehendak sama. Saya yang sedang mengambil kuliah KKL (Kuliah Kerja Lapangan), bekerja magang sebagai reporter di salah satu Surat Kabar Harian yang cukup ternama di Jakarta. Maka, di hari-hari menjelang perubahan di Indonesia itu terjadi saya ada di mana saja. Saya ada di halaman pusat grosir Goro, Pasar Minggu, saat semua orang memulai penjarahan. Saya berada di Lenteng Agung saat mahasiswa kampus saya berdemo dengan dikawal helikopter tentara tepat di atas halaman kampus. Saya berada di Gedung DPR bersama ribuan mahasiswa yang tak kunjung pulang, menunggu sampai Soeharto turun. Dan saya bersimbah air mata di halaman Kampus Trisakti terkena gas air mata yang ditembakkan militer, saat terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang hingga kini kasusnya tak pernah terungkap.

Para mahasiswa Trisakti membawa poster wajah para korban kerusuhan Mei 1998
Para mahasiswa Trisakti membawa poster wajah para korban kerusuhan Mei 1998

12 tahun yang lalu, satu lagi peristiwa besar merubah tatanan pemerintahan Negara ini. Menyisakan kisah gemilang runtuhnya sebuah rezim korup yang ternyata masih dirindukan oleh banyak orang. Namun kisah gemilang selalu diiringi dengan kisah tragis tentang jatuhnya ribuan korban, pembantaian satu etnis tertentu, pemerkosaan dan kehancuran fisik yang menuntut banyak  dari keberhasilannya, kalau itu bisa disebut berhasil.

Saya sadar sepenuhnya saat itu saya adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang tidak peduli dan apatis, menjalankan hari hanya untuk menyelesaikan tugas kuliah tanpa sadar benar pada tujuan yang sesungguhnya. Saya menyesal.


Dan di hari ini, 14 Mei 2010, saya berbincang dengan seorang teman, yang mengatakan bahwa sebenernya ada pencatatan tentang Reformasi, tapi tidak bisa dibilang komprehensif. Itu memang fenomena sebuah Negara berkembang, bukan?
Orde Baru tidak hancur. Dia hanya surut ke belakang, karena tidak ada di Negara ini yang sudah mampu melawan kekuatan militer. Jadi terpikir bahwa sebenarnya Reformasi tidak bisa… atau katakanlah: belum mampu menghancurkan Orde Baru dengan kekuatan militernya, layaknya 44 tahun yang lalu  Orde Baru juga dengan kekuatan militernya menghancurkan Orde Lama.

Kalau ini sebuah permainan catur dengan bidak-bidak, siapa lawannya militer? Tentu saja demokrasi. Namun tetap mahasiswa, juga seperti pada tahun 1965, hanya merupakan pion-pion yang digerakkan oleh kekuatan besar itu, yang belum bisa benar-benar kita sebut sebagai representasi atau agen demokrasi.

Lalu, apakah benar perubahan itu terjadi? Apakah ada perubahan terhadap hal-hal yang laten? Bahkan sekarang ini kita semua tahu, pemerintah bahkan menyerahkan pengawasan-pegawasan demokrasi kepada kekuatan-kekuatan radikal yang ada dalam masyarakat.

12 tahun hanya merupakan sepenggal durasi pendek sebuah proses suatu bangsa (dan juga saya) untuk membangun dirinya. Bagi saya, Reformasi seharusnya adalah sebuah titik tolak bagi pemuda Indonesia untuk merubah dirinya dari keapatisan, menjadi manusia Indonesia yag lebih berkualitas, karena ada seorang pakar politik yang mengatakan, bahkan perubahan di negeri ini baru benar bisa terjadi dengan cara menghilangkan satu generasi, agar tidak ada lagi sisa-sisa kebobrokan mental dari masa lalu.
Bagaimana itu? Mengerikan bukan?

Jumat, 02 April 2010

Para Penjaga Malam

Oleh Otty Widasari, Agung Natanael & Dian Komala | Pada Jumat, 2 April 2010
* * * 
Malam-malam di Lenteng Agung

Seingatku, sejak masa kuliah dulu, kawasan Lenteng Agung sekitar Kampus IISIP tidak pernah tidur. Kawasan yang banyak memiliki rumah-rumah kost untuk mahasiswa ini selalu ramai dan terang benderang, bahkan di jam-jam lewat tengah malam. Anak kost sering berseliweran, memenuhi warnet dan tempat-tempat penjual makanan yang tersebar di sepanjang jalan dan pinggiran rel kereta.

Suasana Jalan Raya Lenteng Agung waktu dini hari
Suasana halte dan Jalan Raya Lenteng Agung saat dini hari

Sebagai salah satu anak kost, dulu aku lebih sering menginap di rumah kost temanku beramai-ramai, dibandingkan dengan kamar kostku sendiri. Kadang untuk mengerjakan tugas, tapi lebih sering untuk nongkrong ramai-ramai tanpa tujuan. Aku pun salah satu dari para mahasiswa yang sering berseliweran tengah malam di jalan-jalan kecil Lenteng Agung untuk melakukan hal-hal tak penting seperti anak kost lainnya.

Yang paling mengesalkan dari hal tersebut di atas bagiku adalah kalau harus bertemu dua orang Hansip yang selalu seliweran berkeliling kampung seperti para mahasiswa insomnia tersebut. Seorang Hansip tua, berperawakan kurus kering, dan temannya yang tampak berusia jauh di bawahnya. Mereka selalu saja menanyakan ke mana tujuanku di jam lewat tengah malam begitu. Mungkin kalau aku laki-laki mereka tak akan terlalu ambil pusing.


Hansip
Sebetulnya, untuk menjawab pertanyaan mereka sih gampang-gampang saja. Aku bisa memberikan jawaban apa pun yang terlintas di kepalaku saat itu, dengan asal-asalan. Tapi aku merasa enggan kalau sampai mereka melihat aku harus memanjat pagar, karena kalau aku pulang terlalu malam sehabis nongkrong, gerbang tempat kostku sudah dikunci. Pak Rosid, seorang warga sekitar yang sejak pertama rumah kost ini berdiri pada tahun 80-an dibayar oleh ibu kost untuk menjaga keamanan, tidak pernah benar-benar menjaga keamanan. Dia selalu tidur pulas sambil mendengkur nyaring di sofa ruang tamu rumah kost. Para penghuni kosst harus berteriak-teiak memanggilnya sambil mengetok kuat gembok besar ke jeruji pagar untuk membangunkan Pak Rosid. Itu pun sering tak membuahkan hasil.
Aku tidak mau melakukan hal gaduh itu. Dan aku tidak punya cukup kesabaran untuk menunggu sampai Pak Rosid bangun dan membukakan pagar. Maka aku pasti akan langsung memanjat pagar tinggi rumah kostku tersebut. Walau mereka sudah tahu apa jawabanku, ke dua hansip keliling itu akan tetap menanyakan perihal panjat memanjat itu, dilanjutkan dengan beberapa wejangan yang membuatku gerah.

Dua Hansip yang selalu keliling kampung menjaga keamanan di malam hari
Dua Hansip yang selalu keliling kampung menjaga keamanan di malam hari





Saking seringnya aku merasa sial bertemu mereka saat sedang memanjat pagar karena jam dan rute keliling mereka yang random, aku selalu berusaha waspada mengamati situasi jalan yang gelap. Beruntung kalau sebelum bertemu aku sudah mendengar bunyi dentang keras mereka memukulkan pentungan ke tiang listrik. Kalau kebetulan aku melihat mereka di kejauhan saat aku akan memanjat pagar, biasanya aku tunda dulu memanjat dan langsung berjalan melewati rumah kost kawanku dan mampir di warung rokok dan membeli sebungkus rokok, memberi waktu pada ke dua hansip tadi, sampai mereka hilang di balik tikungan. Sialnya, mereka selalu ngeronda sambil berjalan lambat-lambat, bercengkerama dan bersenda gurau. Tangannya yang memegang pentungan diayun dengan santainya, lalu mendarat ke tiap tiang listrik dengan kencangnya, memberitahukan keberadaan mereka kepada para maling dengan bunyi yang dahsyat. Suara yang paling membuat aliran darahku naik ke kepala.

Seiring berjalannya waktu, kami sudah saling terbiasa satu dengan yang lainnya. Keadaan sudah banyak berubah. Aku telah memiliki seorang anak dan mengontrak di sebuah rumah kecil yang masih merupakan bagian dari gedung besar rumah kostku dulu semasa kuliah. Pak Rosid tetap menjadi penjaga malam di situ, tetap mendengkur nyaring di saat seharusnya dia terjaga menjalankan tugas. Namun karena menyewa rumah yang lebih besar dari kamar kost dengan harga yang jauh lebih mahal, aku mendapatkan hak istimewa memiliki duplikat kunci gerbang sendiri. Jadi aku dan suamiku tak perlu berurusan langsung dengan Pak Rosid dalam hal akses keluar masuk gerbang. Aktifitas kerjaku juga tetap berada di sekitar Kampus IISIP, Lenteng Agung di mana bangunan di sekitar sini juga sudah sangat banyak berubah.

Taman Lenteng, salah satu
Duo Hansip sedang nge-ronda di Taman Lenteng, sebuah taman yang berada di kawasan rumah warga tempat mereka menjaga keamanan

Namun duet hansip itu tidak pernah berubah. Generasi pengisi rumah-rumah kost di Lenteng Agung yang terus berganti, menjadi saksi keberadaan mereka dari tahun ke tahun. Mereka tetap bekerja menjaga keamanan, berkeliling di jalan-jalan kecil Lenteng Agung, walau usia mereka semakin tua. Pasti mereka semakin santai saja berjalan lambat-lambat sambil membunyikan tiang listrik dengan pentungan kesayangan mereka.  Tak pernah absen mereka menyapaku tiap malam aku pulang kerja, menyapa anak dan suamiku dengan ramah. Namun aku tetap menanggapi mereka sambil lalu dengan rasa geli bercampur kesal yang tersisa. (Otty Widasari)
***

Bang Adjied dan Si Babe

Saat lampu jalan mulai menyala, saat kebisingan mulai tergantikan dengan keheningan, dan pintu serta jendela rumah warga mulai terkunci terlihat dua sosok pria tua yang tengah duduk di depan sebuah warung yang telah tertutup.

Dua
Dua penjaga malam di kawasan rumah warga RT 11/02, Lenteng Agung

Seragam lengkap berwarna hijau-hijau dari topi hingga celana panjang, dan sepatu boots hitam di selimuti jaket kulit hitam untuk menangkal dinginnya udara di pagi buta tersebut, sempat menghentikan langkahku saat melintas. Mereka adalah Abdul Madjied (57) alias ‘Bang Adjied’ dan Maulani (69) yang biasa dipanggil ‘Babe’. Mereka adalah para penjaga malam (Hansip) yang setia menjaga rumah-rumah warga RT 11/02 saat penghuninya tengah tertidur lelap, menjaga keamanan lingkungan sekitar dari ancaman di kawasan Lenteng Agung.

'Bang Adjied’ dan  ‘Babe’ mulai nge-ronda
'Bang Adjied’ dan ‘Babe’ mulai nge-ronda

Keduanya merupakan warga pendatang. Bang Adjied berasal dari Jakarta Selatan, kini ia memilki 2 orang anak. Sedangkan Babe berasal dari Jakarta Pusat yang memiliki 4 orang anak (2 laki-laki & 2 perempuan), semuanya telah berkeluarga.  Mereka tinggal dan menetap di Lenteng Agung sekitar tahun 1979-an. Singkat cerita, kini mereka tinggal berdua, karena ternyata ada 4 orang hansip yang dulu pernah menjaga daerah Lenteng Agung, namun ke dua temannya tidak sanggup lagi untuk menjalani pekerjaan ini. Sekarang Bang Adjied dan Babe telah bekerja sebagai hansip selama 30 tahunan.

“Kegiatan yang paling banyak mendatangkan penghasilan adalah saat PEMILU tiba,” tegas Bang Adjied saat berbagi kisah dan pengalamannya sebagai seorang Hansip. Mereka biasa mendapatkan upah Rp. 100 000 dalam sekali tugas menjaga keamanan di RT 11 ini. “Ya maklumlah gaji bulanan tergolong kecil,” tambah Babe, “Ditambah lagi seragam lengkap baru.” Semula mereka enggan untuk membeberkan penghasilan mereka tiap bulannya kepadaku. Namun, setelah kubujuk-bujuk, ternyata upah mereka jauh dari hitungan UMR (Upah Minimum Regional) hanya Rp. 225 ribu / bulannya.

Rasa ibaku kukesampingkan saat mendengar cerita mereka. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari, tepat saat mereka akan berkeliling guna mengecek keadaan rumah warga. Selama perjalanan mereka bercerita bahwa tiap dua jam sekali mereka harus melakukan cek rutin berkeliling, dan hari itu  adalah giliran mereka untuk ronda berdua yaitu pada hari ke tiga karena biasanya dilakukan sendiri-sendiri sehingga salah satu di antara mereka dapat berlibur. Rute yang dilalui pun tidak terlampau jauh, mungkin karena aku ikut bersama dengan mereka berkeliling (pikirku).

Berkeliling
Para penjaga malam bertemu beberapa warga saat sedang keliling menjaga keamanan

Ternyata untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga mereka, Babe dan Bang Adjied menerapkan tagihan uang keamanan kepada para warga tiap sebulan sekali. Tagihan ini bersifat legal karena hasilnya akan dimasukkan ke dalam kas Hansip yang dipegang oleh bendahara RT. Nominalnya pun termasuk kecil, cuma Rp 5000 per Kepala Keluarga. Namun khusus janda hanya dikenakan Rp 3000 per bulan. Sedangkan para mantan Hansip diberi pengecualian. Namun ada saja warga  yang memberi jauh lebih besar dari pada itu.

Lalu sampailah kami di beberapa tempat Babe dan Bang Adjied biasa nongkrong untuk mengisi waktu senggang saat ronda hingga fajar tiba. Bukan di Pos Hansip melainkan di halte dan warung kopi Mamiri yang biasa mereka kerap kunjungi.

Nongkrong di Warung Mamiri menjadi rutinitas mereka disela-sela pekerjaannya
Nongkrong di Warung Mamiri menjadi rutinitas mereka disela-sela pekerjaannya
Surat Tugas sebagai penjaga malam sejak 30 tahun lalu
Surat Tugas sebagai penjaga malam sejak sekitar 30 tahun lalu

Menurutnya, pos yang kini mereka tempati kurang nyaman dan sangat terbuka hingga udara dingin sangat menusuk tulang. Padahal pos mereka yang dahulunya bukan itu, melainkan yang berada di ujung taman Lenteng Agung, merupakan pemberian Bapak Slamet Adi (ketua RW 02) saat taman tersebut masih berupa kebon Pisang dan Pepaya. Namun, hal tersebut hanya bersifat sementara karena sekitar tahun 2008-2009 pos tersebut dijadikan Pos Sispandu (Sistem Pengaman Terpadu) yang anggotanya terdiri dari warga dan hansip dengan satu syarat, harus memilki HT (Handy Talkie). Satu hal yang sangat berat bagi Babe dan Bang Adjied karena harga 1 unit HT tersebut lumayan mahal. Kini pos tersebut hanya kosong melompong, tak berpenghuni, dindingnya mulai retak, dan banyak coretan-coretan di tembok depan, sungguh tidak terawat.

Pos Siskamling saat ini
Pos Kamling (Keamanan Lingkungan) saat ini
Pos
Pos Sispandu yang dulu menjadi Pos Kamling Bang Majied dan Babe

Tidak butuh waktu lama untuk mencairkan suasana di pagi yang dingin tersebut, ditemani segelas teh hangat dan sebungkus rokok kretek, Babe dan Bang Adjied melanjutkan cerita-cerita pengalaman mereka saat bertugas di Lenteng Agung. Salah satu yang menarik adalah kisah tentang suami isteri yang sedang cekcok, “Saat itu kami sedang duduk-duduk seperti biasa, tiba-tiba datanglah laki-laki, berjalan sempoyongan dan rambut acak-acakan, duduk, kemudian rebahan di pos kami (enggan menyebutkan nama lelaki tersebut, yang kini tinggal di RT 07). Lelaki itu berkata, “…..Nanti kalau ada yang datang, pura-pura saja kalau saya mabuk berat ya, Pak..!!” Selang beberapa menit, seorang perempuan berpakaian putih dan berkerudung datang menghampiri sembari menangis dan berteriak-teriak kepada laki-laki tersebut, lalu sandiwara itu pun dimulai. Setelah mengikuti sandiwara laki-laki tersebut, usut punya usut ternyata mereka adalah pasangan suami isteri yang sedang bertengkar.”

Pohon Asem yang tumbang
Pohon tua yang tumbang saat Bang Adjied sedang jaga malam

Belum lagi kisah yang paling up-date adalah tentang pohon tua yang tumbang di Taman Lenteng, “ Ketika itu bang Adjied bertugas sendirian, cuaca sangat tidak bersahabat, hujan dan angin yang cukup kencang membuat Bang Adjied memutuskan untuk tidak berkeliling dan hanya berdiam diri di posnya. Tiba-tiba, tengah malam pohon sejenis asam yang berada tepat di pinggir posnya tersebut tumbang. Bang Adjied langsung lari sembari mengenakan jaket kulitnya untuk menutupi kepala dari hujan yang turun dan melaporkan kejadian tersebut kepada Pak RT. Hingga siang harinya barulah pohon yang berusia kurang lebih 10 tahun tersebut dibersihkan oleh Dinas Pertamanan sekitar.


Tidak terasa waktu berjalan sangat cepat, tiba-tiba ayam pun mulai berkokok dengan kerasnya. Suasana yang tadinya hening kembali diwarnai oleh kebisingan kendaraan yang melintas. Para warga mulai beraktivitas ke pasar, ke kantor, bahkan ada juga yang baru pulang ke rumah mereka masing-masing. 80 Kepala Keluarga RT 11 pun mulai membuka pintu dan jedela rumah mereka, bersiap menikmati pagi. Tidak demikian dengan Babe dan Bang Adjied. Jam inilah saat mereka harus segera pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat dan memulai rutinitas mereka kembali sebagai penjaga malam pukul 22.30 WIB nanti. (Agung Natanael)
***

Para Penjaga Malam Yang Berbahagia

Aku sering melihat Hansip Lenteng Agung ada setiap malam di pos kamlingnya dekat Taman Lenteng Agung. Ada satu Hansip yang menarik perhatianku,  Abdul Majid namanya. Seperti biasa pekerjaan seorang Hansip, Pak Majid berkeliling tiap malam, menjaga keamanan di wilayahnya.

Abdul Majit
Abdul Majid

Postur tubuh Pak Majid, tidak terlalu tinggi dan berperut bulat. Dari tahun 1982 Pak Majid sudah menjadi Hansip di RT 11 RW 02 ini, sampai kini usianya menginjak 57 tahun.

Pak Majid selalu memakai kaos berlambang partai sehari-harinya. Paling sering aku lihat dia memakai kaos berwarna kuning dengan lambang pohon beringin, logo dari Partai Golongan Karya, atau lebih dikenal Golkar,  yang saat ini di ketuai oleh Aburizal Bakrie. Tapi bukan hanya kaos Golkar saja, aku juga pernah melihat beberapa kali Pak Majid memakai kaos berwarna hijau dan putih, masih bertemakan partai. Aku jadi bertanya-tanya, apakah dia mendukung ke semua partai tersebut pada tiap Pemilu, atau dia selalu memanfaatkan gelaran pemilu itu sebagai saatnya mendapatkan kaos gratisan.

Pak Majid selalu memakai kaos partai
Pak Majid selalu memakai kaos partai di kesehariannya

Suatu sore aku lewat Taman Lenteng Agung,  kulihat Pak Majid sedang bermain kelereng bersama anak-anak kecil. Di antara mereka ada seorang bapak lain yang seumuran dengan Pak Majid juga,  Pak Rosid namanya. Pak Rosid pun bekerja sebagai penjaga malam di sebuah rumah kost di Gang Lurah. Intinya, setiap malam aku melihat mereka bekerja sebagai penjaga malam, tapi di sore hari saat bebas tugas, aku melihat mereka bermain kelereng seperti anak-anak.

Pak Rosit, penjaga malam yang juga sering bermain kelereng bersama Pak Majid
Pak Rosid, penjaga malam yang juga sering bermain kelereng bersama Pak Majid

Pak Rosid berbeda dengan Pak Majid. Walau pekerjaan mereka sama, tapi yang dilakukan Pak Rosid terasa lebih eksklusif. Dia menjaga sebuah rumah kost besar dan tampak mewah di Gang Lurah. Kerjanya mulai dari jam 7 malam. Semalaman itu, Pak Rosid mengawasi aktifitas anak-anak kost. Siapa orang-orang yang keluar masuk rumah kost itu. Sekitar jam 11, Pak Rosid mulai mengusiri pacar-pacar para penghuni kost yang tidak seharusnya menginap. Pukul 12 waktunya mengunci gerbang, dan tidur. Sesekali Pak Rosid terbangun untuk membukakan pintu gerbang,  kalau ada anak kost yang pulang tengah malam, lalu tidur lagi.

Aku tahu betul kegiatan Pak Rosid ini, karena aku sering menginap di rumah kakakku yang mengontrak di sebuah rumah kecil yang masih merupakan bagian dari gedung besar rumah kost tersebut. Sekitar jam 5 atau jam 6 pagi,  Pak Rosid pulang ke rumahnya. Mungkin melanjutkan tidurnya.

Hanya dengan menjadi penjaga malam di sebuah rumah kost, tanpa perlu berjalan keliling, menurutku Pak Rosid lebih beruntung dari pada Pak Majid yang harus berkeliling kampung. Selain dapat gaji setiap bulannya, Pak Rosid juga mendapatkan tips-tips dari anak-anak kost. Terutama dari anak kost yang memiliki kendaraan, kerena membutuhkan penjagaan keamanan ekstra.

Ke dua penjaga malam itu tinggal di dekat Taman Lenteng. Ada sebuah jalan kecil beraspal yang kanan dan kirinya berjejer rumah penduduk yang padat. Di antaranya ada rumah mereka. Aku tahu yang mana rumah Pak Rosid, sebuah rumah papan yang sangat kecil, dihuninya bersama istri, anak-anak serta cucunya. Tapi aku tidak tahu dengan pasti yang mana rumah Pak Majid. Sepertinya rumah Pak Majid dan Pak Rosid bersebelahan,  karena aku sering melihat Pak Majid keluar dan masuk ke sebuah bangunan papan kecil yang hanya menyerupai sebuah kotak,  persis di sebelah rumah Pak Rosid. Di gang kecil depan rumah mereka itulah arena mereka bermain bersama anak-anak penduduk setempat.

Anak-anak yang menjadi teman bermain kelereng Pak Majid dan Pak Rosid
Pak Majid dan Pak Rosid bermain kelereng bersama anak-anak

Sambil menunggu gilirannya untuk  bermain,  Pak Majid  duduk-duduk di teras rumah Pak Rosid. Aku selalu memperhatikan waktu mereka bermain kelereng. Karena sering lewat di depan rumah mereka,  akhirnya momen itu jadi menarik bagiku, karena aneh rasanya melihat orang tua yang rutin bermain kelereng setiap harinya.

Aku lihat Pak Majid dan Pak Rosid sering kali dibohongi oleh lawan main mereka, yang rata-rata remaja dan kebanyakan anak-anak kecil. Pak Majid dan Pak Rosid sering kali tidak tahu kalau giliran mereka untuk bermain sudah terlewatkan. Mungkin anak-anak itu memang senang mengerjai para orang tua itu. Akhirnya ke dua orang tua itu jadi lebih sering kalah bermain.

Ternyata bukan hanya permainan kelereng yang menarik bagi Pak Majid. Pernah aku lihat juga, dia sedang bermain layang-layang di tempat yang sama. Namun kulihat saat itu layang-layangnya tak kunjung terbang. Memang sih, saat itu tidak ada angin yang bisa menerbangkan layang-layang.  Tapi kulihat Pak Majid tetap ngotot menaikkan layang-layangnya. Sayang momen lucu dan aneh itu cuma sekali kusaksikan.

Lalu,  kenapa mereka lebih memilih permainan anak kecil ya? Kulihat mereka tidak begitu mahir juga?  Padahal kan mereka pernah kecil,  dan yang kutahu, aturan ke dua permainan itu tetap sama dari dulu. Bisa kuasumsikan kalau mereka sejak kecil memang selalu menjadi bulan-bulanan teman-temannya karena tidak mahir bermain. Dan sampai tua mereka masih tetap penasaran melakukannya. Mungkin juga mereka bermain permainan anak-anak tersebut karena mereka hanya bekerja di malam hari, dan tak ada aktifitas lain siang harinya.

Pos Kamling terlihat lengang di siang hari tanpa para penjaga malam
Pos Kamling terlihat lengang di siang hari tanpa para penjaga malam

Aku juga pernah melihat Pak Rosid membawa sejumlah ikan yang cukup banyak di dalam ember. Ternyata Pak Rosid senang memancing juga. Kakakku bercerita tentang Pak Rosid yang sering membawa jaring bergagang panjang,  ke halaman kontrakan Bu Anis yang ada pohon rambutan dan pohon sawonya. Jaring bergagang panjang itu digunakan untuk mengambil kroto (telur semut) untuk umpan memancing di kali belakang kampus IISIP. Gagang jaringnya dibuat panjang supaya bisa mencapai tempat kroto-kroto yang ada di atas pohon.

Banyak orang yang bilang memancing adalah pekerjaan orang yang malas. Tidak seperti nelayan yang mencari ikan sebagai profesi. Hasil yang didapat berjumlah besar dan layak untuk dijual dan hasil penjualan bisa disebut sebagai penghasilan. Memang dari memancing kita bisa mendapatkan lauk untuk makan. Kalau dapat ikan yang lumayan banyak,  kita bisa menjualnya sebagian. Tapi kalau itu dilakukan hanya sekali-sekali, hal itu hanya merupakan hobi saja, alias bersenang-senang.

Intinya, walau hanya memiliki rumah gubuk dan keluarga yang harus dihidupi,  ke dua penjaga malam ini pastilah orang yang berbahagia, karena kerja mereka setiap harinya hanya bersenang-senang. (Dian Komala)