Kamis, 29 September 2011

#16. Together Alone


A Note by Veronika Kusumaryati on Friday, September 30, 2011 at 10:58am
Hari ini gerimis berjatuhan di kaca-kaca jendela. Daun-daun basah. Lampu-lampu oranye berpendar dalam kabut. Mengapa setiap hari Kamis, Cambridge sepertinya sesak dengan cuaca sentimental? Saya berjalan dengan tergesa dari Dudley House ke William James Hall. Saya berpikir saya akan bisa menyelesaikan satu chapter bacaan sebelum jam 2, tapi sepertinya saya tidak akan bisa menyelesaikannya.

Udara dingin menyergap tubuh saya yang ringkih. Mata saya sembab. Pandangan mata saya kabur. Saya baik-baik saja. Semalam saya menangis --malam yang kesekian puluh. Apakah saya baik-baik saja? Saya tidur jam 4 pagi untuk kemudian bangun jam 7 --kelas reading dimulai tepat jam 8. Semalam saya menghabiskan waktu insomnia dengan memempersiapkan bacaan untuk kuliah Biografi hari ini. Bacaan hari ini adalah buku karangan dosen saya sendiri, Prof. Arthur Kleinman, berjudul 'What Really Matter'. Prof. Kleinman adalah profesor yang hebat. Setiap minggu ia selalu membuat saya menangis dan merenungkan kehidupan saya yang agak-agak malang di Cambridge. Ini bukan soal penderitaan mahasiswa awal pasca-sarjana, ini soal krisis eksistensial. Kuliah Prof. Kleinman berjudul Biografi, Novel and Psikoterapi. Pada dasarnya ini kuliah yang berada di tengah-tengah disiplin antropologi dan psikologi. Lebih spesifik lagi, kuliah ini membahas soal penderitaan dan subyektivitas. Pada pertemuan pertama, saya merasa dijebloskan ke dalam sumur tanpa dasar oleh pembimbing saya.



Selain berisi mahasiswa-mahasiswa paling ambisius dan pretensius di kelas (dari berbagai jurusan, termasuk hukum, Divinity school dan pendidikan), bacaan di mata kuliah ini benar-benar menguras perasaan dan emosi. Mungkinkah karena saya terlalu emosional? Minggu pertama kuliah, kami membaca sejarah psikologi melalui Pierre Genet (penemu psikologi analisis sebelum Sigmund Freud merumuskan psikoanalisis) dan Carl Gustav Jung. Fine. Minggu kedua, keadaan mulai memburuk. Sore itu, di luar hujan dan ruang kuliah begitu dingin. Kami membaca biografi Albert Camus serta novelnya "The First Man". Sebuah buku yang muram tentang pengalaman hidup di masa kolonial. Kemiskinan, keterasingan, ketidakmampuan mengucapkan banyak hal, kesendirian, penyakit dan absurditas hidup agaknya membentuk gagasan-gagasan Camus. Seperti yang Camus katakan, "Poverty prevented me from judging that all was well under the sun and in history; the sun taught me that history was not all." Kami membicarakan konsekuensi moral dan personal dari penyakit, dari cacad (ibu Camus bisu, ayahnya mati ketika Camus belum mengenalnya), dari debu-debu kemiskinan yang melanda Aljazair.

Minggu ketiga kami membaca sejarah keluarga James (Henry James dan terutama William James). Keluarga James adalah keluarga kaya raya dan intelektual Amerika di abad 19, dengan sejarah depresi yang panjang. Selain membesarkan Henry James sebagai salah satu novelis penting Amerika, keluarga James memiliki William James yang bisa dikatakan pendiri disiplin psikologi di Amerika. Mempelajari sejarah depresi keluarga ini, sambil melihat relasi kelas dan rasionalisme tentunya bukan hal yang mudah. Saya seperti merasa ikut depresi mengikuti biografi William James.

Tapi ada yang lebih buruk. Minggu kemarin kami harus membaca biografi Primo Levi dari Carole Angier setebal 500 halaman, bersama novel Primo Levi berjudul "Survival in Auschwitz" yang tentunya membahas pengalaman di kamp konsentrasi NAZI. Baru lembar kedua saya juga udah nangis-nangis. Minggu ini, seperti yang saya katakan, kami membaca buku Prof. Kleinman tentang penderitaan dan penyakit. "Our lives are nothing but a sequence of defeats and miseries". Saya pikir ini bukan kalimat yang baik untuk memulai sebuah bahasan, tapi tak pelak, kami berakhir dengan pembahasan tentang 'bahwa hidup tidak baik-baik saja, bahwa hidup tidak pernah baik-baik saja."

Kuliah ini benar-benar seperti proses purifikasi. Saya seperti masuk ke purgatory, di mana setiap minggu kami 'mengaku' tentang betapa absurdnya nasib manusia. Dalam konteks sosial, penyakit, isolasi, kemiskinan, dan tindak politik telah menimbulkan krisis-krisis yang bukan hanya bersifat kolektif, tapi juga personal. Dan yang lebih aneh lagi, kami berada di suatu tempat di mana semuanya tampak begitu sempurna. Alumni-alumni yang muncul di majalah kampus sepertinya adalah orang-orang yang sempurna. Orang-orang yang telah mencapai sesuatu. Prof. Kleinman sendiri dengan ironi menjelaskan bahwa narasi majalah Harvard tidak akan pernah bisa memasukkan alumni seperti Charles S. Pierce (sang penemu semiotik) yang belajar bahasa Latin dan Yunani pada umur 6 tahun, membaca Immanuel Kant umur 14 tahun, masuk ke Harvard umur 16 tahun, lulus saat umur 19 tahun dan depresi pada umur 20 tahun. Hidup macam apakah ini, tanya Prof. Kleinman (sejarah beliau sendiri begitu 'superior'. Lahir dari keluarga Yahudi religius di New York, ia belajar sejarah di Stanford pada umur 16 tahun, lulus dan mengambil sekolah kedokteran, lalu Antropologi di Harvard.)


Saya benar-benar memahami kuliah ini secara personal. Tak bisa dihitung betapa seringnya saya menangis. Bulan pertama, saya banyak menangis karena kecapekan (tidur 4 jam sehari bukanlah gaya hidup sehat), dua minggu pertama kuliah karena situasi kelas yang sangat intimidatif, dan tentu saja persoalan dan krisis-krisis personal lainnya. Ini bukan soal bahagia atau sedih, kata Prof. Kleinman. Penderitaan adalah bagian penting manusia. Ia bisa jadi alat pengingat. Hidup bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol sepenuhnya. Ada dampaknya bagi antropologi? Prof. Kleinman mengingatkan saya pada teman serumah saya, Ucu, yang kini sudah jauh. Bagi Prof. Kleinman dan mungkin dikatakan Ucu, semua ini akhirnya kembali pada hubungan personal, cerita manusia-manusia biasa yang sedang berjuang. Apa pun yang terjadi, di mana pun kamu berada, tak ada yang lebih manusiawi daripada orang-orang yang sedang memberi arti pada hidup yang rumit ini. Kemiskinan, penderitaan, kesendirian, hal-hal seperti ini selalu membuat seorang antropologis (atau siapa pun) untuk melihat etik, moral.

Mungkin saya berlebihan. Tapi karena Prof. Kleinman, saya melihat pengalaman saya berjuang dengan bahasa Inggris dan sistem Harvard yang ketat ini dengan cara yang berbeda. Orang kadang hanya melihat nama besar Harvard (beserta kekuatan ekonomi dan politik yang dimilikinya). Di satu sisi, ini memang benar. Tapi percayalah, begitu banyak perjuangan dan kesedihan yang harus dilalui, sama seperti orang-orang lain (saya tidak berusaha menghilangkan bias kelas grup ini sebagai klub elit). Bukan berarti pula, saya tidak bahagia di sini. Saya berjarak dengan orang-orang yang saya cintai. Keluarga saya, teman-teman saya, orang-orang yang bekerja dengan saya di Indonesia, orang-orang yang telah membuat saya yang sekarang, orang-orang yang memungkinkan saya berada di sini. Saya kadang ingin mereka berada di sini. Tapi mungkin dengan seluruh rasa kosong dan murung ini, saya bisa menemukan orang-orang lain lagi yang akan saya cintai, yang akan membentuk saya yang lain.

Maaf, ini seperti pengakuan. Tapi ini sungguh hari yang indah untuk melakukannya.

Selasa, 27 September 2011

Apakah Kita Saling Merindu?




dan itu sudah berjalan sekian lama

jadi artinya, kita tidak merindu ...
hanya saja hatiku ditumbuhi ilalang yang bersemak
karena yang aku tahu hanyalah,
kita pernah mengikat janji

di garis batas antara Depok dan Jakarta

cepat pulanglah kamu yang di sana mengemban tugas mulia
itu sepedamu sudah hampir meleot


Lenteng Agung, 28 September 2011

Sabtu, 24 September 2011

Orang-orang Pagi


Nun jauh di sebuah kota... pagi sekali...


Semua masih terlelap, masih sepi....


Jadwal kedatangan dan keberangkatan belum dimulai.


 Belum ada yang sarapan.





Belum ada yang memperbaiki kerusakan.

Semua orang masih tidur dengan pulas.


 Ternyata ada satu orang yang sudah segar bugar sejak dini hari.


Dia adalah Sang Perekam.
 Dengan tas kopernya, tas selempang dan kamera. Dia siap merekam kota, 
merekam orang-orang.



Dia kenal betul dengan orang-orang yang bangun pagi:

Pak Penjaga gerbang tol yang siap dari pagi, 


Pak Kasir yang siap melayani sarapan para orang-orang yang bangun pagi...



Karena Sang perekam selalu bangun pagi, maka dia mengenali betul wajah-wajah pagi

Dia mengenali mobil-mobil yang pertama membuat kemacetan di jalan



Dan dia tahu mobil pertama yang akan disapa selamat pagi oleh Pak Penjaga Tol


Sang Perekam juga mengenali polisi yang bertugas paling pagi 
untuk mengurai kemacetan lalu lintas


Maka, Sang Perekam memiliki banyak teman.
Mereka berpura-pura tidak tahu kalau sedang direkam, 
supaya terlihat natural di dalam rekaman


Lama-lama makin banyak orang yang mau direkam secara natural.
Mereka berdatangan dari mana-mana.


Termasuk Si Laki-laki yang suka berdandan aneh, mengenakan wig dan kacamata agar orang tak mengenali wajah aslinya.
Sang Perekam tersenyum, ...Jayus banget, sih, Pak!


Pak Jayus cuma tertawa...aku ikut...ikut...boleh, kan?
Boleh, Pak, boleh...


Suasana jadi semakin ramai. Semua orang gembira bergaya bersama.


Hanya Sang Perekam yang menyadari bunyi raungan sirine polisi 
datang dari kejauhan


Sang Perekam mengira dia akan dimarahi karena menyebabkan keriuhan.
Ternyata Pak Polisi cuma mau ikut bergaya.


Ho...hooo...saya juga mau eksis dong. Walaupun begini, saya  juga gaul. Saya punya twitter lho! follow saya, yaaa...!


Sang Perekam pun melanjutkan aksinya, merekam dengan giat.


Tiba-tiba semua orang menengadahkan tubuhnya menghadap ke atas
Lho, ada apa?


Raksasa 'Sang Arsitek Kota' bilang: ...itu karena kamu 
merekam mereka dari atas


Sang Perekam pun tertawa dan berkata pada Raksasa 'Sang Arsitek Kota":
Raksasa, aku pikir mereka mau berpura-pura tidak tahu sedang direkam...heheh


Tiba-tiba Raksasa Besar datang...Bum..Bum...


kota jadi kacau


Orang-orang panik


Seorang Reporter langsung hadir, tidak mau ketinggalan.

 

Langsung mengangkat telepon, berharap jadi 
yang paling pagi dan paling hangat memberitakan keramaian, walau hari sudah semakin siang.


Untuk meredakan situasi yang kacau, 
Raksasa 'Sang Arsitek Kota' menenangkan orang-orang: Tenang...tenang...aku akan bicara pada Raksasa Besar!


Heeeeiyy...Raksasa Besar!!! Kamu jangan injak-injak kota!!!
Nanti kakimu luka!!!


Maka Raksasa Besar pun pergi. 

Sementara Reporter terus meliput keramaian, Sang Perekam malah tak lupa untuk memotret temannya, Raksasa 'Sang Arsitek Kota', karena mereka berdua, Sang Perekam dan Raksasa 'Sang Arsitek Kota' adalah The Two In Common.


Peristiwa besar dan kecil terus terjadi di kota. 
Sayangnya, orang yang masih tidur sampai siang 
akan hanya mendapatkan cerita-cerita.


Lentengagung 2011

Ide cerita dan arsitektur kota : Bodas, teks dan foto: Ambu Otty, Raksasa Besar: Abah Hafiz