Jumat, 14 Mei 2010

Di Lenteng Agung, Kami Berbagi Sebuah Kisah Tentang Peristiwa 12 Tahun Silam

Oleh Otty Widasari | Pada Jumat, 14 Mei 2010
* * * 
Ada  di mana saja ya teman-teman Forumlenteng di saat hari-hari menjelang Reformasi duabelas tahun silam?
Sejauhmana Reformasi itu telah mencapai tujuannya selama ini menurut pandangan mereka?
Saya coba menanyai mereka satu persatu…

Demo mahasiswa pada Mei 1998
Demo mahasiswa pada Mei 1998


Ada di mana kamu pada tanggal-tanggal segini, 12 tahun yang lalu?

Jaka, saat itu berusia 19 tahun:

Di Lenteng Agung, dan berstatus pengangguran. Sedang nongkrong di pinggir jalan dekat Kampus IISIP, Jakarta. Gue menyaksikan mahasiswa sedang demo. Dan yang lebih menarik bagi gue saat itu melebihi peristiwa demonstrasinya sendiri adalah peristiwa perkelahian antar sesama mahasiswa yang sedang berdemo.

Diki, saat itu 17 tahun:
Di Depok, gue tanggal-tanggal segini nggak sekolah, nggak boleh sekolah oleh bokap, karena bokap takut rusuh. Kemudian nenek gue menelpon. Pake seragam abu-abu, gue disuruh nyari om gue yang kuliah di Gunadarma oleh nenek gue. Gue muter-muter, gila! Rame banget. Sampai gue puterin Kampus G dan H di Kelapa Dua.
Yang nenek gue khawatir banget, Sebetulnya om gue ini ga hobi gituan. Demo-demo. Tapi mungkin karena nenek gue nonton TV tentang demo mahasiswa, hari-hari menjelang hari H (Suharto lengser-red), om gue jadi sering pulang malam. Ya, asumsi nenek gue, dia ikut demo-lah. Dia kan anaknya kalem banget, ga ribet-ribet, pokoknya ga mau ngomong yang keras-keras. Tiba-tiba ada begituan, gue juga berpikir, agak aneh, nih.
Sekarang dia kerja di Astra Internasional, bagian kredit mobil ACC. Sudah punya anak satu. Kalau lihat gue dia merasa…. ada hal yang ga bisa dia raih dulu. Dia cemburu. Yah… karena gue ngejar apa yang gue pengen.
Gue ngeliat peristiwa massa, demonstrasi, waktu itu sih, keren benget, seperti gue saat tawuran sama anak STM. Mereka rame-rame, kompak. Dan saat rame-rame itulah mereka jadi berani.


Fuad, saat itu 16 tahun (Seniman Video):
Di Rangkasbitung, aman tenteram. Hal yang paling terasa hanya harga bahan pokok naik tinggi dan harus mencari alternatif makanan, seperti memperbanyak sayuran. Peristiwa kerusuhan hanya sekedar sebuah acara di televisi, seperti acara lainnya. Gue cuma fokus sama sekolah.

Hafiz, saat itu 27 tahun:
Di Cikini. Saat itu aku nganggur, akibat krismon, miskin banget. Di kantong mungkin cuma ada 3 ribu perak. Itu juga sisa dikasih Dolo (Dolorosa Sinaga, dosen Hafiz semasa kuliah-red) beberapa minggu sebelumnya. Aku hidup dari tanggungan orang, sebelum kemudian ada yang ngajak kerja di Majalah Indikator.
Aku lihat penjarahan di Pasar Cikini, lihat orang-orang membongkar pertokoan di Pasar Cikini. Trus aku jalan sama Wisnu (teman sekampus dulu) ke Kota. Lihat orang pada bakar-bakaran. Jakarta waktu itu sepi. Sempet jalan juga ke tempat lain seperti Slipi. Di jalanan hampir nggak ada kendaraan sama sekali. Rasanya mencekam banget. Saat Soeharto lengser aku ada di dalem Gedung DPR, di depan TV Setelah Soeharto mengungumumkan lengser kita semua keluar gedung, teriak-teriak. Ada yang nyebur ke kolam di halaman DPR. Aku nggak ikut nyebur. Trus kita pada naik ke kubah gedung DPR. Ada yang kencing di atas sana. Yang paling mengesankan adalah pengalaman duduk-duduk di atas kubah itu. Itu pengalaman visual dan tubuh yang tak terlupakan. 

Massa menduduki Gedung DPR
Massa menduduki kubah Gedung DPR

Acong, saat itu 15 tahun:
Di Bekasi, gue SMP kelas tiga, waktu itu kan habis EBTANAS, trus gue ngumpul di rumah teman gue yang anak guru, teman-teman geng lah. Kebetulan dari rumah teman gue ke pusat Kota Bekasi ga jauh. Itu kita baru dapat informasi bahwa di pusat kota lagi ada kerusuhan. Jalanlah kita ke pusat kota. Kira-kira 200 meter tuh baru jalan, ada tukang becak dari arah berlawanan bawa baju banyak, dia teriak, ”De, mau baju, ga? Nih, ambiil…” kira-kira ada 10 potong baju dia lempar waktu itu.
Sampai di pusat kota, gue ngeliat, Wuih, ini kok orang pada ngambil-ngambil, masuk ke toko? Apakah gue bisa? Karena berhubung waktu itu…yah, apa, ya? Karena masuk-masuk ke aksi massa kan, ya? Udahlah gue ikut nimbrung ke situ. Karena toko yang terdekat waktu itu adalah toko peralatan bulutangkis, ya udah yang kepikiran untuk gue ambil itu… ngambil raket. Mereknya Carbonex. Kenapa ngambil raket? Yah, karena teman gue ngambil sepatu, kanan semua… udah ga mungkin, udah berantakan semua tokonya itu. Nah, gue ngambil yang gampang, ga perlu sepasang, kan? Ya udah, ngambilnya raket. Dari situ gue liat, wah, ini udah mulai chaos (kacau). Ga lama teman gue yang anak guru itu ditelponlah sama orangtuanya. Jaman itu teman gue udah pake hape. Akhirnya, ga lama kita semua pulang ke rumah teman gue itu. Baru kita nonton TV, lihat, oo…ada peristiwa.
Saat itu gue ga kepikir apa-apa. Pokoknya ada aksi massa yang rusuh. Gue ga ngerti itu apa. Karena yang gue liat, mereka sebagian marah-marah ga jelas gitu. Tau-tau datang  ke pertokoan, nimpukin. Juga Bank BCA, apa-apanya diambilin. Gue juga baru sadar, dan yang paling jelas ya itu, jadi ada satu karyawan BCA di atas, dia udah minta tolong, tapi sama massa malah dikunci pintu bawahnya, trus ditimpukin kaca atasnya dari bawah, ga tau gimana tuh kondisi akhirnya, karena di bawah situ dibakar. Padahal dia udah nunjukin tangan begini,  jangan…jangan…
Gue baru sadar semuanya pas Soeharto lengser. Setahu gue, ya udah, presiden turun. Gue lihat, apa, ya? Karena gue belum ngerti, belum kenal juga istilah korupsi, ya, gue cuma berpikir ini hanya orang-orang yang dendam aja.
Orang tua gue cuma telpon, ”Ya udah nginep aja di situ, jangan pulang.” Karena pulang juga udah ga mungkin. Ga ada angkot, ga ada apa-apa. Ya udah gue nginep di rumah temen gue. Mungkin gue mulai sadar politik ya SMA-lah, karena gue udah mulai ikut Pemilu.

Massa berbondong-bondong menjarah pertokoan milik warga Tionghoa
Massa berbondong-bondong menjarah pertokoan milik warga Tionghoa

Abe, saat itu 16 tahun:
Di Pamulang, saat itu gue baru pulang kalah tawuran melawan anak SMA lain. Trus gue liat gedung Ramayana ramai banget. Banyak orang pada manjatin tembok gedung itu. Gue ga ngerti ada apa. Gue pikir itu juga orang-orang yang sedang tawuran. Ga taunya itu peristiwa penjarahan. Gue cuma menyaksikan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Gelar, saat itu 11 tahun:
Di Karawaci. Waktu itu kan sore ya, eh pagi… rumah gue masih dekat sama kampung, belum ada sekat beton antara kompleks rumah gue dengan perkampungan, masih pohon-pohon bambu. Di depan situlah ada Lippo Karawaci Supermall, baru kira-kira setahun berdiri. Temen-temen gue kebanyakan orang situ, pada main bola. Gue keluar, disamper temen gue, “Ke Lippo, yuk, ngejarah!” Gue kebagian nunggu di depan Islamic (RS Islamic Center), jadi gue kebagian naroh-naroh aja ke becak. Gue sempat ikut ke dalam, di situ ada konter jam, pecahin kacanya, serok, masukin ke baskom. Teman gue begonya, kan kaca ya, tangannya berdarah. Gue mainnya sama anak yang udah SMA. Teman-teman gue di rumah jarang yang seangkatan gue. Paling satu-dua orang. Gue dapet sepatu bola. Yah, sepatu bola itu sempat gue pake, sih. Sepatu kanan dan sepatu kiri gue beda-beda. Pas tujuhbelasan ngadu bola, tuh sepatu masih ada. Anak-anak daerah gue sepatunya belang-belang semua. Ketahuan itu bekas ngejarah. Tragedi 1998 itu.
Tetangga-tetangga gue ada yang bawa kulkas, ada yang bawa magic jar. Barang paling mahal yang gue dapat jam tangan merek Casio, Baby-G warna putih, dan sempat gue pake sampe SMA. Sudah, gue ga boleh keluar sehabis itu oleh emak gue. Sore, gue pulang, besoknya gue ga boleh main. Dia nanya,”Dari mana ini?” Gue jawab, “Dikasih,”. Namanya Kodir, temen gue. Kodir murid emak gue . “Dikasih, nih, sama murid Mama. Dia dari Lippo, ngejarah.”
Tukang becak, tukang ojek, pada kacau. Orang Cina pada digebukin. Ada temen gue, namanya Harun. Dari Kalimantan, orang Cina Pontianak. Dia punya toko yang ditimpukin. Seminggu kemudian dia nggak ada di sekolah. Gue ga tau kabar dia sampai sekarang. Taunya toko dia dicoret-coret, ancur barangnya. Semenjak itu dia ga ada kabarnya, ga ada yang tau dia di mana, sampe hari ini. Katanya, kakaknya, cewek, kakak kelas gue, diperkosa.

Andang, saat itu 15 tahun:
Di Pasar Minggu. Baru terima kartu kuning, tanda lulus EBTANAS. Gue sedang main basket di belakang rumah gue. Rumah gue dekat terminal Pasar Minggu. Ada Robinson, Ramayana. Nah, kompleks rumah gue dekat situ. Pertama gue lihat asap. Baru kita ke sana, (Ramayana), orang-orang udah pada kelar. Bawa-bawa kasur, kulkas. Gue ga ikutan, gue cuma ngeliat aja. Gue pengen. Tapi, yah, enggak aja. Yang gue rasain, gue ga takut, cuma merasa ini aneh. Tapi datar aja. Teman-teman satu komplek juga ga pada ikutan. Gue anak baik-baik kali, ya? Anehnya, teman-teman sepermainan gue itu pun tidak ada yang menjarah. Jadi memang lingkungan gue ga membawa gue untuk bandel. Padahal kita hidup di dekat pasar.
Gue ga pernah terlalu nonton TV. Yang kerusuhannya itu, gue ga tau itu apa. Tapi yang gue tau waktu itu memang saatnya Presiden Soeharto lagi didemo. Baru setelah itu orang-orang pada rame. Semua orang pada bangun dan jagain kompleks, takut dijarah juga. Pos satpam jadi rame. Pada akhirnya gue merelasikan, dalam artian, ini pasti ada hubungannya, nih, antara Soeharto lagi ngomong (di TV-red), setelah omongan itu orang pada bersorak semua. Mungkin sebelum Soeharto lengser itu masyarakat masih pada sebel, tapi gue ga tau apa hubungannya orang pada ngejarah. Tapi kalau demonya di Istana (DPR) gue masih bisa ngerelasiin. Kesadaran politik sudah ada sedikit saat itu. Tapi gue cuma mikirin masuk SMA aja. Setelah kuliah baru gue mulai ngertilah.


Hmm…ada kerusuhan, ada banyak korban, pasti ada cerita seram…

Gelar, sekarang 24 tahun (Seniman Video):
Dulu di daerah gue sempet ada cerita serem. Anak-anak pada takut semua kalau lewat di jalan yang itu.
Setelah kerusuhan, orang Lippo Supermall Karawaci (Pihak pengelola), ngumumin, orang yang bisa ngangkut mayat dibayar 100 ribu per mayat. Karena mayatnya banyak banget di dalem. Gue ikut. Gue sempet masuk sama temen-temen gue. Itu udah seminggu setelah kejadian. Mall tertutup semua abis dan bau bangkai. Satu Lippo Karawaci bau bangkai. Nah, kan ada petugas yang pada ngebukain pintu. Pintu dibuka semua akhirnya, nah, orang-orang dibayar kalau bisa ngeluarin mayat, seratus ribu per kepala. Teman-teman gue ikut. Gue di luar, gue ga berani. Karena udah bau banget. Gue lihat, Ditarik-tarik gitu. Udah gosong semua, dimasukin ke mobil pick up. Gue liat semua, karena Lippo Karawaci deket banget sama rumah gue. Seluas dalam mall itu mayat semua. Item gosong dan bau. Ada beberapa yang pas ditarik tangannya copot. Parah!
Sejak itu ada cerita tentang ‘Seli’ alias Setan Lippo. Jadi ada tetangga gue ceritanya lagi pulang kerja. Mas Dabung namanya. Kalau pulang kerja dia lewat situ. Masih bau bangkai, udah lebih dari sebulan. Itu Lippo kan baru dibuka lagi setahun kemudian.

Dia naik motor. Bau bangkai…bau sangit. Malem. Di terowongan, Mas Dabung naik motor. Tiba-tiba di sebelahnya ada motor lain. Mas Dabung ga noleh. Jalan terus. Trus, orang yang di motor sebelah, ngomong, “Masih bau ya, Mas?”
Mas Dabung nyahut, “Iya nih masih bau. Padahal udah lama, ya.” Dia trus jalan. “Mau ke mana?” , “Mau pulang.” , “Baunya kaya gimana sih, Mas?” tanya si pengendara asing lagi.
Mas Dabung jawab, “Ya bau gitu deh…gosong-gosong bau mayat gitu. Sangit!”
“Kayak saya nggak baunya?” Si orang tadi nanya.
Waktu Mas Dabung noleh, mukanya orang itu ga ada, ga keliatan. Langsung ngebut, ngeeeeeeeeng…pulang. Sampe di rumah, emaknya dia lagi ngobrol sama emak gue di bale-bale, malem. Mas Dabung langsung banting motor, lari ke emakya melukin sambil nangis.
Sampe sekarang ceritanya masih ada. Seli…Setan Lippo.

Ada Perubahan nggak, yang kamu rasakan setelah Reformasi?


Diki, sekarang 29 tahun (Periset Video):
“Perubahan setelah Reformasi yang gue rasain, ada di pola berpikir dan pemahaman orang-orang. Contohnya di rumah gue, nenek gue melarang keras, gue ga boleh sekalipun ngomong ‘komunis’.  Sekitar tahun 1995 gue nonton filem G30S/PKI di TV, di rumah nenek. Gue lupa gue ngomong apa, pokoknya gue menyinggung sesuatu tentang ‘komunis’. Tiba-tiba nenek gue membentak gue, “Jangan pernah ngomong itu di sini, di rumah gue!” Tapi sekarang ini, dia sudah bisa ngobrol, mendongeng dan bercerita tentang kisah migrasi dia dari Kalimantan ke Surabaya, lalu naik kereta ekonomi ke Jakarta di tahun ’65. Dia dan kakek gue membawa bokap gue dan mengandung adik bokap gue, bagaimana lebih menyeramkan saat itu situasinya. Cerita itu gue dapat setelah Reformasi. Kondisi tahun ‘65 itu serem banget dan dia melihatnya secara kasat mata. Tahun 98 dia tidak merasa seseram itu, tapi suasana di TV yang justru membuat dia shock. Makanya dia bilang, ”Lo cari om-lo sekarang juga, pokoknya sampai ketemu!”
“Juga dia senang-senang aja menonton video yang gue buat di Tampere, dan gue cerita di sana gue masuk ke Museum Lenin.”



Acong, sekarang 27 tahun (Wartawan Foto):
Perubahan yang paling jelas, apa, ya? Orang lebih berani aja sekarang. Karena waktu itu kan semuanya pukul ratalah. Semuanya adem ayem dan stabil. Sebelumnya kan peran media hanya satu, yang lainya masih terbatas, dan masih kucing-kucingan waktu itu. Ah… ya yang paling gue inget ya itu. Gue kehilagan acara itu, bukan kehilangan sih, dalam satu sisi gue lega. Karena biasanya ketika gue nonton filem kepotong oleh itu, bete banget. Satu jam setiap hari… O ya, acara Laporan Khusus. Setelah Reformasi itu ga ada kan?

Hafiz, sekarang 39 tahun (Kurator Seni Rupa):
Sebenarnya kan perubahan itu harusnya sistematik. Kalau dibilang gagal juga tidak gagal. Ada perubahanlah. Seperti kebebasan pers, multi partai, seperti yang diidam-idamkan oleh Reformasi, kan? Paling minimal sudah ada perubahan dalam bidang kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berpolitik, pemilu langsung.
Semua perubahan di belahan dunia, di mana pun, Revolusi Mei, Revolusi Bolshevik, revolusi apapun lah, ada semacam gerakan para intelektual jugalah yang melakukan pencatatan, melakukan statement-statement politik, statement yang menyentuh wilayah filosofis yang dibahas sangat komprehensif. Dan itu menjadi bagian dari sejarah kebudayaan, sejarah pemikiran. Sekarang, kan reformasi yang aku tahu ga pernah ada semacam telaah akademisnya yang komprehensif tentang hal itu. Karena memang pada jaman itu para intelektualya pada sibuk jadi selebriti. Pada sibuk turun ke jalan tapi nggak melakukan atau men-set up-nya menjadi  sebuah peristiwa yang bisa kita baca sebagai sebuah ide pemikiran di balik reformasi. Aku juga tidak bilang yakin sepenuhnya akan hal itu, tapi kan sampai sekarang ide pemikiran tentang reformasi masih sangat ngambang, sangat abu-abu. Kalau kita misalnya melihat peristiwa Mei Merah, kita bisa merunut tulisan-tulisannya Sartre, Foucault.
Revolusi Bolshevik, Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, di Asia ada Revolusi Kebudayaan di Cina, yang dilakukan Mao Zedong, itu memag ter-set up, terkonsep, walaupun membunuh ribuan orang juga. Membunuh para intelektual juga. 



Jaka, sekarang 31 tahun (Penulis Lepas):
Reformasi itu hanya sebatas seremonial aja. Ga banyak yang berubah menurut gue. memang mungkin kelihatannya sekarang kita lebih bebas bicara. Tapi pada prinsipnya kita masih terkekang. Kalau dibilang kita sudah mendapatkan kebebasan pers dan dalam berekspresi, sebenarnya itu hanya bersifat semu. Misalnya kita pikir kita bisa bebas bergerak di dunia internet yang sepertinya tanpa batas, tapi pengawasan terhadap hal itu ternyata malah menguat.
Rakyat ga bisa bener-bener menekan pemerintah dengan apa yang diinginkan oleh rakyat. Contoh yang paling gampang, kita ga punya lagi keunikan, kita ngomong apa yang sudah diomongin semua orang di facebook. 
Misalnya sekarang kita punya masalah kasus Bank Century, ramai diberitakan, tapi ketika ketika ada isu-isu lain, yang tidak esensial juga menurut gue, akhirnya kasus itu terbengkalai. Jadi tujuan utamanya sudah terlupakan.
Kita tahu, pihak lain tahu, semua tahu kalau Century ada hubungannya dengan Pemilu dan RI 1 sekarang. Kalau itu diungkap, semuanya akan  hancur, apa yang dibangun oleh pemerintahan yang sekarang, yang berkuasa itu, akan hancur. Akhirnya untuk mengatasinya, semua dibelok-belokkan.
Gue ga percaya kalau perubahan itu harus dilakukan dengan sistemik.

Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI
Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI

Lalu, perubahan yang dirasakan oleh anak yang bapaknya PNS bagaimana, ya?

Gelar:
Dulu kan waktu jaman Soeharto, kalau kampanye bapak gue kebagian jatah nyablon kaos Golkar. Itu mulai dari flyer, kaos, sampai jaket, semua bapak gue. Sekarang udah kagak.  Cukup makmur kalau ada event doang. Bokap sampe sekarang pun tetap Golkar. Sekarang sudah ga dapat job itu lagi, mungkin karena udah naik pangkat kali ye. Jadi ga ada hubungannya dengan Reformasi. Tapi sekarang, kalau lihat acara di TV gitu dia jadi lebih tertutup dalam bicara politik. Misalnya nyokap gue bilang, “Oh, ini SBY aja, nih…” bokap gue ga komentar. Kalau dulu, bapak gue kenceng banget kuningnya. Kelihatan, kuning, kuning, Golkar, Golkar… kalau sekarang adem, ga mau ikut-ikutan atau gimana. Tapi gue tau dia tetep Golkar. Mungkin bukan Soehartonya, tapi ‘beringin’nya.
Tertutup bukan bener-bener tertutup. Maksudnya itu lebih buat dirinya sendiri aja. Mungkin dia protect kalau untuk keluar. Dia ga mau nunjukin kalau dia kuning. Kalau sekarang lebih kalem. Kalau untuk masalah-masalah pemerintahan yang sekarang, dia komentar, kritik, tetep.
Gue selalu suka bokap gue sebelum dan sesudah Reformasi. Tapi kalau situasi rumah, gue lebih suka setelah Reformasi. Karena dia lebih bebas jam kerjanya. Ga seperti kemarin yang kasarnya seperti buruh pabrik. 


Abe, sekarang 28 tahun (Fotografer):
Sebelum Reformasi, dalam politik, ya kayak Gelar bilang, bokap gue pasti kuning. Tapi setelah ‘98 itu sampai akhirnya dia sempat non-job, sekitar tiga tahun setelah reformasi. Dia tetap PNS, dikeluarin dari BKN. Sebenarnya, sih, atasannya bilang, oke namanya masuk. Tapi sampai hari ‘H’ nya, nama dia ga ada. Makanya sekarang dia pindah di DKP. Tapi dalam bicara politik, beda sama Gelar, sekarang dia terbuka banget. Bahkan dia bisa lebih… borok-boroknya ring 1, RI 1 yang sekarang. Seperti waktu itu gue sempat dikasih naskah pidato sebelum itu dikasih ke Presiden. Ke keluarga dia lebih ngomong bebas, dia ngasih sesuatu yang media ga bisa liput, tapi sebenarnya sistim di pemerintahan di Negara Indonesia itu begini, lho. Tapi di media tidak semuanya ter-cover. Dan sekarang kalau dibilang kuning yah, mungkin udah enggak. Bahkan pas mau Pemilu kemarin dia yang gembar-gembor banget untuk pindah dari kuning ke partai lain.
Contoh, kasus harta karun kemarin di Cirebon. Itu sebelum diekspos ke media, kemarin gue udah dikasih liat 2-3 bulan sebelumnya. Kalau sebelum reformasi, itu ga bisa. Sebelum reformasi bokap lebih tertutup dan lebih hati-hati banget untuk bicara, walaupun cuma ke keluarga. Mungkin karena paranoid-paranoid yang ekstrim banget ketika jaman Soeharto. Mungkin takut dicek ke keluarga, terlebih ke nyokap yang juga PNS. Kan dulu banyak kasus orang hilang.
Gue lebih nyaman dengan bokap gue sesudah Reformasi, karena lebih demokratis. Gue bisa lihat bedanya ketika sebelum Reformasi kita harus straight kuning, apalagi nyokap juga PNS. Gue lihat dia gondok ga bisa memilih. Tapi sekarang bisa kasih arahan, perbandingan (partai-red) ke kita, lebih terbuka, lebih demokratis.

Andang, sekarang 27 tahun (Desainer Visual):

Bokap gue mulai ngomong, ah Golkar tuh gini gini…negatiflah, setelah gue SMA. Level gue dan orag tua gue sudah lebih equal. Setelah reformasi lebih ada keterbukaan di rumah gue untuk teknologi. Di rumah semua serba internet. Sebelum ‘98 internet kan belum ada. Setelah ada internet, ya udah, bokap gue kerjanya di depan komputer doang. Kalau dulu selalu ngurusin kolam, jadi ga pernah gurusin kolam. Tapi untuk taraf kehidupan keluarga, sih setelah ‘98 mulai menanjak. Gaji bokap gue di bawah 2 juta lah. Itu untuk menghidupi 5 kepala. Setelah’ 98 kerjanya makin banyak sampingan sih.
Untuk keterbukaan di rumah, gue lebih nyaman setelah Reformasi. Tapi mungkin ga ada hubungannya sama Reformasi. Mungkin karena gue udah gede. Dan mungkin kalau pun sebelum ‘98 gue bertanya sesuatu pada bokap mungkin dia akan menjawab. Karena sebelum ‘98 gue liat surat bebas PKI. Jadi memang ga punya masalah ketertutupan. Ga ada. Jadi bukan karena reformasi. Mungkin ada, tapi gue ga tau apa.
Dia pernah ngomong, “Ini bapak bisa aja kaya,” mungkin dia ga ngomong saat sebelum ‘98 mungkin karena waktu itu gue masih kecil. Setelah gue kuliah, memang bokap ngomong karena memang administrasi penerimaan mahasiswa baru di tempat dia mengajar, dipegang oleh dia semua. Dan orang bisa aja nitip beberapa puluh juta. Dia menolak hal itu sama sekali. Dan sepertinya di masa sekarang itu lebih banyak terjadi. Karena jaman dulu cuma beberapa keluarga tertentu aja yang mampu membayar berpuluh juta. Dan sekarang lebih banyak orang yang punya uang. Dan bokap gue tidak menerima hal begituan di sebelum dan sesudah reformasi.

Eh, gomong-ngomong, Reformasi itu apa sih?



Acong:
Reformasi itu apa ya? Ya reformasi itu baru bisa dibangun degan kekutan yang besar. Kalau reformasi hanya dipikirkan oleh sekelompok kecil orang-orang saja, itu akan sulit terjadi. Maksudnya hanya segelintir orang yang memperjuangkan. Tapi ketika aksi massa itu sudah mulai membesar, reformasi itu akan lebih mungkin terjadi. Setelah 12 tahun, secara misi mungkin reformasi terjadi. Tapi secara visi ga jelas. Maksudnya, setelah itu tuh orang pada bingung semua mau ngapain akhirnya.
Karena saat itu mungkin terlalu banyak tokoh yang bermunculan, entah itu menggunakan momen saat itu, atau mungkin itu rekayasa dia, yah, empat tokoh yang sangat vokal saat itu. Gusdur, Megawati, Amin Rais, dan Sri Sultan. Ga tau juga, apa itu untuk kepentinganmereka. Mereka itu kan tokoh-tokoh lama, gatau juga. Apa muingkin mereka pernah sakit hati, ya, kan?

Hafiz:
Agenda reformasi itu kan pembasmian korupsi, nepotisme, dan sebagainya. Itu sebenernya yang masih kenceng sampai sekarang. Agenda-agenda reformasi memang masih sulit diwujudkan, karena semua memang kena getahnya dari Soeharto.
Sekarang persoalan yang paling inti adalah ngebongkar kerusuhan Mei. Karena itu tidak pernah terungkap siapa dalangnya, siapa pelakunya. Bayangin, ribuan orang yang mati tapi tidak pernah tau itu siapa dalang dan pelakunya. Pegakuan pemerintah kan ga ada. Pengakuan Negara, bahwa kerusuhan Mei itu ter-set up, itu tidak ada. KOMNAS HAM sudah bikin statement itu adalah pelaggaran Ham berat, di DPR ga dibilang itu sebagai pelanggaran HAM berat.
Kalau mau lihat 12 tahun lalu itu bagaimana, itu harus dibuka lagi sebagai agenda utama, untuk melihat reformasi itu.

Jaka:

Apa yang bisa kita lakukan sebenernya sih bagaimana mengubah diri sendiri untuk jadi lebih baik, lebih aware, dan itu yang susah. Karena mengubah diri sendiri kan bukan dari atas ke bawah tapi, dari pribadi-pribadi itu. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh pribadi-pribadi, bukan dengan kelompok. Apa yang dilakukan oleh komunitas-komunitas yang punya kesadaran politik, ya hanya itu yang bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan akumassa sekarang ini. 


*        *        *  


Dan saya sendiri, saat itu sedang susah payah berusaha menyelesaikan kuliah sementara hati sudah tidak berkehendak sama. Saya yang sedang mengambil kuliah KKL (Kuliah Kerja Lapangan), bekerja magang sebagai reporter di salah satu Surat Kabar Harian yang cukup ternama di Jakarta. Maka, di hari-hari menjelang perubahan di Indonesia itu terjadi saya ada di mana saja. Saya ada di halaman pusat grosir Goro, Pasar Minggu, saat semua orang memulai penjarahan. Saya berada di Lenteng Agung saat mahasiswa kampus saya berdemo dengan dikawal helikopter tentara tepat di atas halaman kampus. Saya berada di Gedung DPR bersama ribuan mahasiswa yang tak kunjung pulang, menunggu sampai Soeharto turun. Dan saya bersimbah air mata di halaman Kampus Trisakti terkena gas air mata yang ditembakkan militer, saat terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang hingga kini kasusnya tak pernah terungkap.

Para mahasiswa Trisakti membawa poster wajah para korban kerusuhan Mei 1998
Para mahasiswa Trisakti membawa poster wajah para korban kerusuhan Mei 1998

12 tahun yang lalu, satu lagi peristiwa besar merubah tatanan pemerintahan Negara ini. Menyisakan kisah gemilang runtuhnya sebuah rezim korup yang ternyata masih dirindukan oleh banyak orang. Namun kisah gemilang selalu diiringi dengan kisah tragis tentang jatuhnya ribuan korban, pembantaian satu etnis tertentu, pemerkosaan dan kehancuran fisik yang menuntut banyak  dari keberhasilannya, kalau itu bisa disebut berhasil.

Saya sadar sepenuhnya saat itu saya adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang tidak peduli dan apatis, menjalankan hari hanya untuk menyelesaikan tugas kuliah tanpa sadar benar pada tujuan yang sesungguhnya. Saya menyesal.


Dan di hari ini, 14 Mei 2010, saya berbincang dengan seorang teman, yang mengatakan bahwa sebenernya ada pencatatan tentang Reformasi, tapi tidak bisa dibilang komprehensif. Itu memang fenomena sebuah Negara berkembang, bukan?
Orde Baru tidak hancur. Dia hanya surut ke belakang, karena tidak ada di Negara ini yang sudah mampu melawan kekuatan militer. Jadi terpikir bahwa sebenarnya Reformasi tidak bisa… atau katakanlah: belum mampu menghancurkan Orde Baru dengan kekuatan militernya, layaknya 44 tahun yang lalu  Orde Baru juga dengan kekuatan militernya menghancurkan Orde Lama.

Kalau ini sebuah permainan catur dengan bidak-bidak, siapa lawannya militer? Tentu saja demokrasi. Namun tetap mahasiswa, juga seperti pada tahun 1965, hanya merupakan pion-pion yang digerakkan oleh kekuatan besar itu, yang belum bisa benar-benar kita sebut sebagai representasi atau agen demokrasi.

Lalu, apakah benar perubahan itu terjadi? Apakah ada perubahan terhadap hal-hal yang laten? Bahkan sekarang ini kita semua tahu, pemerintah bahkan menyerahkan pengawasan-pegawasan demokrasi kepada kekuatan-kekuatan radikal yang ada dalam masyarakat.

12 tahun hanya merupakan sepenggal durasi pendek sebuah proses suatu bangsa (dan juga saya) untuk membangun dirinya. Bagi saya, Reformasi seharusnya adalah sebuah titik tolak bagi pemuda Indonesia untuk merubah dirinya dari keapatisan, menjadi manusia Indonesia yag lebih berkualitas, karena ada seorang pakar politik yang mengatakan, bahkan perubahan di negeri ini baru benar bisa terjadi dengan cara menghilangkan satu generasi, agar tidak ada lagi sisa-sisa kebobrokan mental dari masa lalu.
Bagaimana itu? Mengerikan bukan?